top of page

Guru Besar Suvarnadvipa Dharmakirti (Bag. 1)

“Kekuasaan raja yang telah engkau dapatkan melalui leluhurmu, keuntungan-keuntungan duniawi, kemegahan yang engkau peroleh dari kasta raja, kemewahan, penghormatan yang mengiringi statusmu, apa yang akan terjadi dengan semua ini suatu hari nanti? Mereka adalah godaan yang mengkhianati, ilusi semu, kenikmatan sekilas, tidak mempunyai inti bagaikan sekam yang diterbangkan angin. Cepat atau lambat akan menghilang, terbawa oleh arus kehidupan,

bagaikan jerami rapuh yang berhamburan oleh angin kematian!

Sampai kapan engkau mau menjadi budak mereka yang patuh?”

~ Sri Maharatna kepada Pangeran Dharmakirti ~

[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" o:spt="75" o:preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"></v:stroke> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"></v:f> <v:f eqn="sum @0 1 0"></v:f> <v:f eqn="sum 0 0 @1"></v:f> <v:f eqn="prod @2 1 2"></v:f> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"></v:f> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"></v:f> <v:f eqn="sum @0 0 1"></v:f> <v:f eqn="prod @6 1 2"></v:f> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"></v:f> <v:f eqn="sum @8 21600 0"></v:f> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"></v:f> <v:f eqn="sum @10 21600 0"></v:f> </v:formulas> <v:path o:extrusionok="f" gradientshapeok="t" o:connecttype="rect"></v:path> <o:lock v:ext="edit" aspectratio="t"></o:lock> </v:shapetype><v:shape id="Picture_x0020_2" o:spid="_x0000_s1026" type="#_x0000_t75" alt="Description: image1" style='position:absolute;left:0;text-align:left; margin-left:131.1pt;margin-top:-28.4pt;width:103.7pt;height:115.7pt;z-index:-251658752; visibility:visible;mso-wrap-style:square;mso-width-percent:0; mso-height-percent:0;mso-wrap-distance-left:26.9pt;mso-wrap-distance-top:0; mso-wrap-distance-right:5pt;mso-wrap-distance-bottom:0; mso-position-horizontal:absolute;mso-position-horizontal-relative:margin; mso-position-vertical:absolute;mso-position-vertical-relative:text; mso-width-percent:0;mso-height-percent:0;mso-width-relative:page; mso-height-relative:page'> <v:imagedata src="file:///C:\Users\MANDALA\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\02\clip_image001.jpg" o:title="image1"></v:imagedata> <w:wrap type="square" side="left" anchorx="margin"></w:wrap> </v:shape><![endif][if !vml][endif]Suvarnadvipa Guru,

Yang telah sepenuhnya merealisasikan batin pencerahan,

Tiang penyangga Dharma, Aku memohon padamu!

Bagaimana beliau terlahir dalam keluarga bangsawan


Sri Suvarnadvipa, nama beliau dalam bahasa Sanserkerta, lahir sekitar tahun 950 Masehi. Di kemudian hari beliau dihormati oleh murid utamanya, Dipamkara Sri Jnana, dengan nama Suvarnadvipa Guru, Lama Serlingpa.


Pada saat itu, para raja wangsa Sailendra berpengaruh di wilayah-wilayah laut selatan, mulai dari kepulauan-kepulauan yang kini dikenal sebagai Indonesia, Selat Sunda dan semenanjung Malaysia, meliputi daratan Kamboja dan Vietnam, hingga ke Maladewa dan Lakadewa. Kapal dagang dari Cina, Arab dan Bengal berdatangan ke pulau Sumatra membawa batu-batu indah dan berharga serta emas, memenuhi seluruh isi muatan barang mereka, hingga menjadi sumber julukan ‘Suvarnadvipa’, Kerajaan Pulau Emas. Para Raja mempunyai hubungan erat dengan kerajaan India selatan sejak penaklukan 300 tahun sebelumnya. Kerajaan di Sumatera ini terkenal dengan nama Srivijaya, termahsyur di seantero lautan.


Para raja wangsa Sailendra telah berlindung kepada Triratna. Mereka membangun banyak rupang, tempat pemujaan, dan mendirikan pusat-pusat Dharma dimana Ajaran tersebar luas. Mereka juga menjalin ikatan dengan universitas kebiaraan agung Nalanda di India, dimana mereka membangun kuil bagi para murid yang ingin menetap. Pada puncaknya mereka membangun Borobudur, mandala batu lahar terbesar di bumi ini, untuk menghormati Sang Triratna. Suvarnadvipa Guru lahir dalam keluarga terhormat ini.


Sang anak terlahir dengan berseru: “Triratna! Triratna!” Saat kelahirannya, ajaran Buddha sudah merosot di tanah Sumatra. Rakyat ayahnya, sang raja, telah melupakan Dharma. Saat usia sangat muda, ketika sang pangeran berjalan di rerumputan, beliau menemukan sebuah rupang Buddha Sakyamuni dari emas murni. Tinggi rupangnya sekitar 30 sentimeter. Peristiwa ini membangkitkan keyakinannya pada Sang Buddha, hingga kejernihan batinnya tumbuh dan akhirnya terlihat jelas oleh semua orang.


Perilakunya yang murni menjadi jaminan perlindungan kerajaannya dalam menghadapi rintangan bagi rakyatnya. Rupang yang ditemukan memenuhi hati sang anak dengan kegembiraan mendalam. Beliau mulai merenungkan akan arti kebahagiaan. Beliau terus-menerus dengan sungguh-sungguh menjalankan puja, memberikan persembahan, dan memohon perlindungan kepada rupang tersebut, yang menjadi objek penghormatan dan pertumpuannya. Setiap hari keyakinannya akan Sang Buddha semakin kokoh dan kuat, sehingga memberikan manfaat besar bagi penduduk setempat. Berkat ibadah sang pangeran, mereka hidup dengan penuh kebahagiaan dan sejahtera. Panen berlimpah. Tiada wabah yang mengancam penduduk ataupun binatang.


Bagaimana beliau mendapatkan pengetahuan dan mencapai realisasi dalam kehidupan ini


Seiring dengan pertumbuhan sang pangeran keyakinannya terhadap Triratna pun semakin kuat. Tiba saat beliau memutuskan berbicara kepada ayahnya, sang raja. Beliau memohon ijin pergi ke India, tanah Sang Pangeran Siddhartha Gautama lahir dan mencapai pencerahan sempurna. Beliau memutuskan berziarah ke semua tempat suci, tempat Buddha Sakyamuni lahir, mencapai pencerahan, mengajar, dan memasuki parinirvana. Beliau juga berharap menemukan guru spiritual dan menerima ajaran-ajaran berharga, serta berharap tidak melewatkan kesempatan untuk mengunjungi biara agung Magadha (India pusat) yang sedang memuncak pada saat itu.


Ayahnya memberikan restu dan doanya. Kemudian sang pangeran muda pergi mengarungi lautan menuju India. Beliau mengawali perjalanannya dengan singgah ke tanah Jawa. Hingga saat ini masih terlihat tempat dimana beliau tinggal di sisi Borobudur. Beliau kemudian melanjutkan perjalanannya, hingga tiba di hulu sungai Gangga. Dari sanalah beliau menuju Bodhgaya. Saat tiba di biara Vajrasana, beliau bertemu dengan peziarah yang sedang berkumpul. Di tempat suci ini, tempat dimana Sang Buddha mencapai pencerahan, sedang diadakan pertemuan. Semua yang dikenal sebagai cendekiawan hadir bersama muridnya.


Tidak ada kesempatan yang lebih baik lagi bagi mereka yang ingin merealisasikan tujuan spiritual. Tempat sesi-sesi debat, perpustakaan, kuil dan tempat pemujaan manapun, dipenuhi guru-guru dari sekolah filsafat buddhis yang berbeda- beda dan dikelilingi para murid sambil memberikan ajaran- ajaran Dharma.


Di antara para cendekiawan, terdapat seorang guru yang menarik perhatian sang pangeran muda. Cendekiawan ini memperlihatkan tanda-tanda realisasi sempurna. Beliau adalah Sri Maharatna, yang mempunyai pengetahuan luas dan mendalam, hasil praktek dan realisasi pribadi. Beliau telah mencapai siddhi umur panjang. Sejak pertama bertemu, terbangkit rasa bakti yang mendalam di hati sang pangeran. Beliau sangat berharap agar bisa menjadi muridnya, tanda mereka memiliki ikatan guru-murid pada kehidupan lampau. Oleh karena dalam memilih seorang guru tidak tepat untuk terburu-buru dan penting untuk berhati-hati, beliau memutuskan mengamati ajaran sang guru selama tujuh hari. Sang pangeran juga mencari tahu tentang guru tersebut dari berbagai orang. Rasa hormat yang sangat besar dan keyakinan sempurna bangkit dalam dirinya, hingga beliaupun merasa yakin telah berada dihadapan guru yang akan membimbingnya dalam belajar, merenung dan meditasi, hingga mencapai realisasi sempurna.


Sang pangeran mengamati selama tujuh hari. Namun pada hari kedelapan beliau tidak dapat menemukan Sri Maharatna di seluruh Bodhgaya, dan tidak seorangpun yang tahu keberadaannya. Sang guru menghilang tanpa jejak. Lalu sang pangeran berpikir beliau mungkin pergi ke tempat suci lainnya dan memutuskan mengejarnya. Tanpa menunda, beliau berhenti mencari dan segera pergi. Beliau tidak menghiraukan segala biaya dan kesulitan selama mencari di seluruh utara India. Beliau mendatangi semua tempat yang mungkin dikunjungi oleh sang guru, tanpa melewatkan satupun. Pencariannya membawanya ke Lumbini, hutan dimana Pangeran Siddhartha dilahirkan, lanjut ke tepi sungai Nairanjana, lalu ke taman rusa Varanasi, tempat Sang Buddha pertama kali mengajar Empat Kebenaran Arya, dan akhirnya naik ke Kushinagara, tempat Sang Buddha meninggalkan tubuhnya. Namun sang guru Sri Maharatna memang telah menghilang. Tidak dapat menemukan informasi apapun tentangnya.


Saat sang pangeran muda menyerah, beliau memutuskan untuk mengambil jubah kebiarawan agar dapat belajar dan berlatih. Beliau memilih tinggal di vihara Vikramasila, tempat dimana keluarganya telah menjalin hubungan sebagai pendana. Biara Vikramaslla sangat terkenal dengan pembelajaran akademis yang sangat tinggi dan disiplin biara yang sangat ketat.


Beliau memohon ijin untuk masuk dan permohonannya dikabulkan, Beliau mengabdikan diri dalam belajar, merenung, dan meditasi selama tujuh tahun di bawah bimbingan guru-guru termahsyur diantaranya guru Gewachen. Beliau menjadi sangat terpelajar dan menguasai seluruh ilmu pengetahuan baik duniawi maupun Dharma.


Suatu malam, saat tertidur lelap, beliau bermimpi Sri Maharatna duduk di samping kepalanya. Guru yang telah dicarinya dengan susah payah, akhirnya datang dan berkata: “Kekuasaan raja yang telah engkau dapatkan melalui leluhurmu, keuntungan-keuntungan duniawi, kemegahan yang engkau peroleh dari kasta raja, kemewahan, penghormatan yang mengiringi statusmu, apa yang akan terjadi dengan semua ini suatu hari nanti? Mereka adalah godaan yang mengkhianati, ilusi semu, kenikmatan sekilas, tidak mempunyai inti bagaikan sekam yang diterbangkan angin. Cepat atau lambat akan menghilang, terbawa oleh arus kehidupan, bagaikan jerami rapuh yang berhamburan oleh angin kematian! Sampai kapan engkau mau menjadi budak mereka yang patuh?”


“Terdapat kerajaan yang bertahan lebih lama. Tidak ada hasrat atau mara kematian yang dapat merampasnya darimu. Keunggulannya tidak berubah-ubah, namun akan bertahan selamanya. Saatnya tiba bagimu untuk memilih. Apakah engkau sungguh bersedia melepaskan kerajaan duniawi untuk menjadi Raja Dharma?” Sri Maharatna menanyakan sebanyak tiga kali, dan sang pangeran muda pun menjawabnya tiga kali dengan berkata: “Mulai hari ini hingga mencapai pencerahan kebuddhaan sempurna demi kebaikan semua makhluk, aku akan melepaskan semua yang menjadi bagian dari samsara dan seterusnya mendedikasikan diri hanya kepada Dharma.”


Sejak saat itu beliau menikmati manfaat ajaran-ajaran berharga sang guru. Beliau mendalami pengetahuan yang telah dimiliki dan juga mencapai pengetahuan baru. Melalui berkah- berkah gurunya, pemahamannya meningkat lebih dalam dan jalan kebuddhaan terbuka baginya. Beliau menyelesaikan seluruh proses belajarnya di Vikramasila.


Dengan demikian beliau menjadi pemegang ajaran sempurna dari kedua silsilah utama untuk membangkitkan bodhicitta, batin pencerahan spontan. Seperti yang diketahui, Arya Asanga menerima metode ajaran dari Buddha Maitreya dan meneruskan silsilah yang disebut Tujuh Poin Sebab Akibat. Sedangkan silsilah satunya disebut Menyetarakan dan Menukar Diri dengan Yang Lain, diturunkan oleh Santideva, yang menerimanya dari Buddha Manjusri. Dengan demikian, Suvarnadvipa Guru menjadi pemegang kedua ajaran silsilah ini dan ulasan-ulasannya.


Saat Suvarnadvipa Guru tinggal di India, beliau mempelajari teks-teks agung dan ulasan dari semua kendaraan/aliran dan mencapai pengetahuan sempurna tentang itu. Sesudah itu beliau menulis banyak karya, beberapa telah kita dapati dalam Tengyur. Beliau menjaga dan memperkuat pemahaman filsafat dari falsafah Cittamatra. Karya yang paling penting yang beliau hasilkan berupa ulasan Abhisamayalamkara (Namah-prajnaparamita-satra-vritti-dhurboha-aloka-nama-tika), Berdasarkan ulasan karya Haribhadra mengenai penulisan Chandrakirti. Dalam ulasan agung ini, Suvarnadvipa Guru menguraikan dengan jelas bagian akhir dari enam paramita yaitu kebijaksanaan, Ibu dari Para Buddha.


Karya bahasa Perancis oleh Françoise Cartau.

Diterjemahkan dari bahasa Perancis ke bahasa Belanda oleh Elly Hendriks, Januari 2011.

Diterjemahkan dari bahasa Belanda ke bahasa Inggris oleh Hans van den Bogaert, November 2011, atas permintaan Lan Tjoa, dengan tujuan agar teks ini dapat tersedia bagi pembaca bahasa Inggris.

Edit pertama bahasa Inggris oleh Yang Mulia Tenzin Kalzang.

Edit kedua bahasa Inggris dan terjemahan ke bahasa Indonesia oleh tim penerjemah Yayasan Suvarna Dharma Chakra Loka, beranggotakan Rio Helmi, Toni Risman, Hans Wijaya dan Rana Helmi, berlokasi di Bali, Indonesia, April 2016.

Sumber:

Atisa and Tibet, Maka Chattopaddhyaya, Motilal Barnasidas.

Byang-chub lam gyi rim-pa bla-ma brgyud-pa’irnam par thar-pa rgyalbstanmdzespa’irgyanmchogphulbyung nor bu’iphrengba (lam rnam) oleh Yongzin Yeshe Gyeltsen.

History of Buddhism, Buton Rinpoche, diterjemahkan dari bahasa Tibet oleh E. Obermiller, Edisi Heidelberg, 1932.

History of Buddhism in India, Taranatha.

La Libération Suprême entre Nos Mains, Pabongka Dorje Chang, Institut Guépele (Liberation in our Hands/ Pembebasan Ditangan Kita).


==============================================================================



Pada Februari 1932, Yang Mulia Dagpo Rinpoche lahir di wilayah Kongpo, di tenggara Tibet. Ketika berusia satu tahun, Yang Mulia Dalai Lama XIII Thubten Gyatso (1876-1933) mengidentifikasi dirinya sebagai reinkarnasi dari Guru akhir abad ke-19, Dagpo Lama Rinpoche Jamphel Lhundrup Gyatso, juga dikenal sebagai Bamchoe Rinpoche. Yang juga berarti Yang Mulia Dagpo Rinpoche merupakan reinkarnasi dari Guru Besar Suvarnadvipa Dharmakirti dari Indonesia.

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
Archive
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page