top of page

STUPA TANPA CHATTRA TAK UBAHNYA PENIHILAN ATAS FONDASI AJARAN BUDDHISME

Oleh: Stanley Khu


Setelah paparan panjang lebar tentang komponen arsitektural stupa dan makna filosofisnya (bahkan meski tanpa kandungan relik), kini kita bisa beralih ke isu yang lebih kontekstual dan di depan mata: polemik seputar ada atau tiadanya chattra pada Candi Borobudur.



Ada banyak pro dan kontra terkait pemasangan chattra di stupa induk Borobudur, dan dalam posisi tulisan ini yang berusaha mewakili pihak yang pro, maka idealnya beberapa poin argumen dari pihak yang kontra akan dijabarkan untuk lantas diselidiki dasar pembenarannya.


Pertama, argumen bahwa pemasangan chattra di Borobudur berisiko melanggar etika pemugaran candi. Maksudnya, berhubung tidak ada bukti yang cukup meyakinkan mengenai keaslian hasil rekonstruksi chattra yang dulu dilakukan Theodoor van Erp, dan berhubung tidak ada rekaman gambar saat Borobudur pertama kali dipugar, maka disimpulkan bahwa pemasangan chattra tidak kontekstual.


Kedua, argumen bahwa bentuk chattra stupa di situs-situs Buddhis bervariasi menurut aspek lokalitas. Maksudnya, fakta bahwa tidak ada candi Buddhis di Indonesia yang memiliki chattra kemungkinan besar disebabkan oleh variasi kearifan lokal tiap-tiap kebudayaan, sehingga ketiadaan chattra mungkin valid adanya.


Ketiga, argumen bahwa stupa induk Borobudur bukan stupa relik ataupun stupa Tantra. Maksudnya, secara tersirat ingin dinyatakan bahwa berhubung tidak ditemukan relik saat pemugaran Borobudur, tidak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa stupa induknya adalah stupa relik, dan berhubung Borobudur bukan monumen Tantra, tidak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa stupa induknya adalah stupa Tantra – dua asumsi ini pada gilirannya menuntun ke kesimpulan bahwa stupa Borobudur kemungkinan adalah makam kosong yang tidak perlu dipayungi chattra.


Keempat, argumen bahwa ada atau tiadanya chattra tidak berpengaruh pada ketenaran dan keagungan Borobudur. Maksudnya, Borobudur dalam keadaannya saat ini – tanpa chattra – sudah setenar dan seagung yang bisa dibayangkan dan diharapkan orang-orang.


Perihal argumen pertama, bila yang dipermasalahkan adalah keaslian hasil rekonstruksi seorang sarjana asing non-Buddhis, maka ini justru berisiko membuat kita luput dari isu yang jauh lebih penting (bahkan terpenting): bahwa secara historis dan filosofis, sebuah stupa memang sepatutnya dihiasi chattra di atasnya. Dalam stupa Buddhis, chattra adalah simbol dari pohon Bodhi tempat Buddha bernaung ketika berjuang meraih pencerahan. Jadi, stupa sebagai simbol batin tercerahkan Buddha sudah sepatutnya dinaungi chattra. Hasil rekonstruksi van Erp boleh jadi tidak asli atau akurat, tapi apakah fakta ini mesti menuntun kita pada kesimpulan untuk sekalian saja membongkar habis filosofi stupa demi tuntutan etika disiplin keilmuan? Kalaupun memang pemasangan chattra rekonstruksi van Erp dinilai tidak etis, maka tidak menaruh chattra pada sebuah stupa faktanya adalah keputusan yang jauh lebih tidak etis lagi, karena apa yang dipertaruhkan di sini adalah bangunan pemikiran Buddhisme itu sendiri. Andaikan kelak di masa depan temuan baru bakal membenarkan ketidakaslian chattra van Erp, maka chattra lama tinggal diganti dengan yang baru (dan lebih asli). Namun, tidak memasang chattra di Borobudur semata demi menunggu momen akbar itu tiba sungguh merupakan distorsi atas tradisi Buddhisme.


Langkah terbaik untuk menengahi isu ini adalah tidak lagi menumpukan keputusan final terkait chattra pada satu pihak saja (ilmuwan/akademisi), tapi juga mulai merangkul dan mendengar aspirasi dari pihak kedua yang sama-sama berkepentingan (atau malah lebih besar kepentingannya) terkait isu Borobudur: umat Buddhis di Indonesia. Misalnya, para pemuka agama Buddha di Indonesia bisa diundang untuk menyampaikan perspektif mereka terkait mesti ada atau tiadanya chattra di Borobudur.


Perihal argumen kedua, bila yang dipermasalahkan adalah variasi stupa-stupa Buddhis menurut aspek lokalitas – sehingga kemudian muncul pembenaran tentang tiadanya chattra di Borobudur – maka ini kembali berisiko mengalihkan kita dari isu yang lebih penting. Bila temuan sejauh ini menyimpulkan bahwa tidak ada candi Buddhis di Indonesia yang memiliki chattra, maka ini tidak lantas membuktikan ketiadaan absolut dari chattra, karena ‘temuan sejauh ini’ tidak lain daripada ‘temuan parsial’ belaka. Hakikat ilmu pengetahuan adalah terus berubah dan berkembang. Apa yang tidak tertangkap oleh pengamatan indrawi – entah karena belum mampu ditangkap indra (dalam kasus ilmu alam semisal fisika) ataupun sudah tidak eksis untuk ditangkap indra (dalam kasus ilmu sosial semisal arkeologi) – tidak serta-merta menuntun pada kesimpulan bahwa tangkapan empirik sejauh ini sudah final sifatnya. Soal apakah Borobudur pada era Shailendra abad ke-9 punya chattra atau tidak mustahil untuk dipastikan mengingat kurangnya data yang memadai. Kekurangan data ini membuka ruang probabilitas yang sama antara dua kemungkinan: Borobudur bisa punya chattra dan bisa juga tidak. Bila peluang dua kemungkinan ini adalah setara, maka solusi terbaiknya adalah berpaling ke aspek filosofis dari stupa alih-alih terus berkubang dalam polemik materialnya. Objek material arkeologis, terutama yang religius, tidak dibuat hanya demi objek itu sendiri. Tanda/lambang tidak pernah sepenuhnya simbolik, tapi senantiasa berkelindan dengan seperangkat nilai tertentu (moral, sosial, eksistensial) yang hendak disampaikan. Sebagai tambahan, relief 127-130 dari Karmavibhanga di Borobudur melukiskan sepuluh manfaat dari mempersembahkan chattra. Di sini, andaikan mayoritas umat Buddhis di Indonesia hendak melakukan persembahan yang sama bagi Borobudur, tidakkah tindakan ini, alih-alih dipandang tidak kontekstual, justru sejalan dengan apa yang diajarkan dalam relief-relief Borobudur?


Perihal argumen ketiga, bila yang dipermasalahkan adalah status dari stupa induk Borobudur – relik, Tantra, atau bukan keduanya – maka ini berisiko menjadi sebuah lompatan logika yang mengandaikan sudah benarnya seperangkat asumsi tertentu tanpa butuh penyelidikan lebih lanjut. Pertama, hanya karena saat pemugaran candi tidak ditemukan relik apa pun, ini tidak lantas bisa langsung diartikan bahwa stupa induk Borobudur tidak memiliki relik. Sejak perampungan Borobudur pada abad ke-9 sampai pemugarannya pada abad ke-20, ada rentang waktu 11 abad yang memustahilkan pemastian apakah ada relik di dalam stupa induk Borobudur atau tidak. Seperti halnya kasus chattra, selalu ada ruang probabilitas untuk memperkirakan bahwa relik pernah eksis pada suatu waktu, sebelum kemudian hilang karena satu dan lain alasan. Kedua, perihal penyangkalan Borobudur sebagai monumen Tantra (sehingga otomatis stupa induknya juga bukan stupa Tantra), sangkalan ini bisa dengan mudah dibantah karena bukti materialnya terpampang jelas. Salah satu deretan relief paling terkenal di Borobudur adalah yang berkisah tentang Gandavyuha Sutra. Kisah ini adalah tentang seorang pemuda bernama Sudhana yang mengunjungi puluhan guru untuk mencari jalan pencerahan. Dari sekian banyak guru yang ditemuinya, setidaknya ada tiga sosok yang menarik untuk dibahas dalam kaitannya dengan konteks kali ini: seorang Brahmana bernama Jayosmayatana, seorang dewa bernama Siwa Mahadewa, dan seorang wanita penghibur bernama Vasumitra. Sosok Jayosmayatana dan Siwa Mahadewa menarik karena status unik mereka sebagai dua guru non-Buddhis yang ditemui Sudhana. Pertemuan ini menyiratkan sebuah sinkretisme, yang tak pelak menjadi salah satu corak paling utama dari tradisi Tantrayana sejak awal kemunculannya di India. Ini ditambah fakta bahwa dewa yang muncul dalam Gandavyuha Sutra bukanlah sembarang dewa, melainkan Siwa Mahadewa sendiri, salah satu tokoh utama dalam tradisi Tantra Hindu. Perihal Vasumitra bahkan lebih menarik lagi, karena dikatakan dalam teks bahwa dia mampu membimbing para makhluk ke jalan Dharma melalui belaian dan cumbuan. Pertanyaannya: di tradisi manakah seseorang pernah mendengar bahwa belaian dan cumbuan bisa digunakan sebagai cara menuntun individu ke jalan Dharma selain dalam tradisi Tantrayana, yang memang dipenuhi simbolisasi sejenis? Patut diingat bahwa belaian dan cumbuan dalam konteks Vasumitra bukanlah aktivitas seksual pembangkit nafsu, dan bertolak belakang dengan kesalahpahaman selama ini, Tantrayana juga bukan pembenaran bagi aktivitas seksual. Belaian dan cumbuan dalam konteks ini sepenuhnya adalah upaya-kausalya yang dengan mahir diterapkan Bodhisatwa untuk membimbing para makhluk. Tapi sekali lagi, di tradisi mana lagi simbolisasi macam ini diajarkan selain dalam tradisi Tantrayana? Jadi, relief Gandavyuha Sutra pada Candi Borobudur tak pelak membuktikan bahwa mandala fisik ini, berikut stupa induknya, adalah monumen Tantra.


Perihal argumen keempat, bila yang dipermasalahkan adalah tidak relevannya chattra bagi status agung Borobudur, maka ini berisiko semakin menjauhkan kita dari isu penting di depan mata. Ada atau tiadanya chattra bukan sekadar soal perbandingan lurusnya dengan ketenaran dan keagungan Borobudur (isu ini mungkin lebih relevan buat sektor ekonomi dan pariwisata!). Sebaliknya, ada atau tiadanya chattra adalah soal penghayatan nilai-nilai dalam ajaran Buddha. Keinginan untuk melihat chattra terpasang di atas stupa induk Borobudur bukanlah aksi cari perhatian ataupun dorongan megalomaniak untuk lebih mengagungkan lagi status Borobudur (inilah asumsi yang tersirat dari argumen keempat!). Umat Buddhis yang mendambakan terpasangnya chattra memunculkan niatan ini bukan karena didorong penampilan superfisial yang tujuan akhirnya hanya demi pemuasan kebutuhan egoistik. Sebaliknya, chattra adalah perwujudan konkret dari nilai-nilai Buddhis, seperti halnya usnisa dan urna Buddha bukan sekadar gundukan di ubun-ubun dan sebuah titik di tengah dua alis mata, melainkan simbol dari tanda-tanda utama seorang makhluk agung yang tercerahkan. Jadi, apabila misalnya dikatakan bahwa stupa induk Borobudur tidak perlu chattra untuk menambah keagungannya, maka konsekuensi logisnya adalah sebuah representasi Buddha tidak perlu usnisa dan urna sebagai perlambang bahwa sosok yang diwakili adalah Buddha, dan kaum biksu juga pada akhirnya tidak perlu perangkat jubah untuk dikatakan biksu (karena tata lakunya sudah lebih dari cukup untuk membayangkan keagungan sosoknya!). Dengan demikian, argumen keempat secara tersirat merupakan usaha pembongkaran atas tradisi kebudayaan ribuan tahun untuk lantas menyajikan sisa-sisa hasil bongkaran sebagai artefak yang standarnya ditentukan secara subjektif.


Ada atau tiadanya chattra bukan soal selera ataupun persepsi individual tentang kadar keagungan sebuah objek. Umat Buddhis yang melihat sebuah stupa dinaungi chattra akan memampukan dirinya untuk mengaitkan simbolisasi ini dengan hayat dan aktivitas agung Buddha, yang salah satunya adalah meraih pencerahan di bawah pohon Bodhi. Jadi, apabila chattra selaku simbol pohon Bodhi tidak dipasang di atas stupa, ini sama artinya dengan memandang pencerahan Buddha secara parsial – sebuah pencerahan tanpa pohon Bodhi.


Sebagai penutup, stupa bukan sekadar tempat menyimpan relik, tapi juga penyimbol Dharma dan transformasi spiritual bagi individu yang menjalankan Dharma, yang tujuan akhirnya tak lain daripada pencerahan. Ini bukan sekadar asumsi yang mengada-ada ataupun usaha pencocok-cocokan, karena dalam kajian semiotika, lazim dipahami bahwa tidak ada tanda/lambang yang murni bersifat simbolik. Dengan demikian, eksistensi chattra pada sebuah stupa bukanlah soal estetika, formalitas, ataupun simbol demi kepentingan simbolik belaka. chattra ditempatkan di atas stupa karena stupa adalah perlambang batin tercerahkan Buddha, dan pencerahan Buddha mustahil diperoleh tanpa naungan pohon Bodhi, yang dalam konteks stupa disimbolkan oleh chattra. Sebuah stupa tanpa chattra adalah tak ubahnya penihilan dan penyangkalan atas pohon Bodhi, atas situs suci Bodhgaya, dan terutama, atas keseluruhan fondasi ajaran Buddhisme.


Terlepas dari apakah sebuah stupa dalam pengamatan mata telanjang kita saat ini di abad ke-21 memiliki chattra atau tidak, pemahaman yang tepat atas filosofi stupa, dan juga tradisi Buddhisme secara umum, menuntut kita untuk tiba pada kesimpulan bahwa sebuah stupa bukanlah stupa sampai ia dinaungi chattra di atasnya, ibarat pencerahan seorang Buddha bukanlah pencerahan kecuali beliau meraihnya di bawah pohon Bodhi.


****

Artikel selengkapnya:

Comments


Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
Archive
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page