top of page

SANG HYANG KAMAHĀYĀNIKAN DAN BOROBUDUR SEBAGAI DUA SUMBER UTAMA BUDDHISME NUSANTARA


Liputan Diskusi Sang Hyang Kamahāyānikan & Borobudur bersama Prof. Dr. Noerhadi Magetsari


Akhir-akhir ini, isu Borobudur sedang menjadi pusat perhatian. Sebagai umat Buddha, kita tentunya perlu memahami serinci mungkin tentang hal-hal yang berkaitan dengan Borobudur. Terutama, ajaran yang dirujuk sebagai landasan pembangunan Candi Borobudur itu sendiri. Salah satu pustaka yang digunakan adalah Sang Hyang Kamahāyānikan (SHK). Oleh karena itu, sejak Jumat, 3 April 2021, Sangha Vajrayana Sangha Agung Indonesia (SV-SAGIN) menyelenggarakan diskusi rutin yang telah berjalan beberapa kali dengan narasumber yang ahli terkait Candi Borobudur dan SHK, yaitu Prof. Dr. Noerhadi Magetsari. Beliau adalah seorang arkeolog senior dan guru besar Universitas Indonesia yang telah meneliti Borobudur dan SHK secara mendalam.


Acara ini diikuti oleh sekitar 60-70 anggota Sangha monastik dan umat awam. Setiap sesinya berlangsung selama 90 menit dengan format diskusi. Acara ini dipandu oleh Yang Luhur Śrāmaṇera Guna Sagara. Diskusi diawali dengan usaha mengungkap kesejarahan dan sosok-sosok yang berperan di SHK dan Borobudur.


Apa itu Sang Hyang Kamahāyānikan?


Narasumber yang biasa disapa Prof. Nanung ini membuka diskusi dengan pernyataan, “Apabila hendak mempelajari agama Buddha Nusantara, maka ada dua sumber yang bisa dirujuk, yakni SHK dan Borobudur. SHK adalah ajaran Dharma yang dituliskan, sedangkan Borobudur adalah yang ajaran yang yang divisualkan. Inilah keistimewaan SHK yang pertama.”


Terkait dengan nama SHK sendiri, Prof. Nanung menjelaskan bahwa nama SHK terdiri dari frasa “Sang Hyang” berarti “yang suci” sementara “Kamahāyānikan” mengandung makna Mahayanis atau pengikut ajaran Mahāyāna. Mahāyāna sendiri merupakan tradisi dalam Buddhisme yang bertujuan untuk meraih Kebuddhaan demi mengakhiri penderitaan semua makhluk. Sebelum mempraktikkan Tantra, seorang praktisi haruslah menjadi seorang Mahayanis terlebih dahulu. Jadi, pustaka ini adalah pegangan pengikut Mahāyāna.


Prof. Nanung mengisahkan bahwa SHK ditemukan pada abad ke-20 (tahun 1894, ed.) di Lombok. Ketika itu, pasca pendudukan Belanda atas Puri Cakranegara, para serdadu hendak menghangatkan badan dengan membuat api unggun. Kebetulan saja mereka menemukan banyak naskah lontar lalu menjadikannya bahan bakar! Beruntung di antaranya naskah SHK berhasil diselamatkan. Enam tahun setelahnya, yakni 1910, edisi diplomatis SHK serta terjemahannya dalam bahasa Belanda diterbitkan oleh Jacob Kats. Setahun kemudian, pemugaran Borobudur oleh T. van Erp dirampungkan. Sembari memperlambat tempo bicaranya, Prof. Nanung mengungkap keyakinannya bahwa kemunculan dua hal yang beriringan ini menjadi suatu pertanda dari alam bahwa hubungan SHK dan Borobudur tidak dapat dipertentangkan.


Identitas sang ācārya pemberi ajaran dan siswa yang di-wejang masih menjadi misteri. Prof. Nanung menyatakan bahwa pustaka ini menitikberatkan pada penyampaian ajaran, bukan yang lain. Hal ini juga membuktikan kerendahan hati guru-guru Nusantara di masa itu yang tidak mementingkan suatu pengakuan. Munculnya nama Ḍang Ācārya Dignāgapāda adalah satu-satunya informasi diri yang bisa didapati di dalam SHK. Kehadirannya menjadi kata kunci dalam mengenali landasan ajaran SHK, yakni Yogācāra. Namun, silsilah pewarisan ajaran SHK tidak mungkin ditarik lagi setelah beliau. Namun, selanjutnya Prof. Nanung memungkas, “Semuanya itu dari Sang Buddha.”


Perpaduan Pāramitāyāna dan Tantrayāna


Selanjutnya Prof. Nanung menyampaikan bahwa SHK masih belum jelas waktu penulisannya. Namun dapat diperkirakan ia berasal dari sekitar abad VIII-IX Masehi. Lebih lanjut, SHK merupakan ajaran yang umum dianut pada masa itu dan dijalankan secara sinambung. Ini dibuktikan dengan satu versi SHK yang mengandung nama Pu Sindok, raja Medang dari abad ke-10. Penemuan naskah tersebut di Lombok menandakan ajaran SHK mampu bertahan sekitar 1000 tahun. Hal ini memungkinkan karena teksnya terus disalin ke dalam lontar. Selain di Lombok, rupanya SHK juga banyak ditemukan di Bali. Hal ini membuktikan bahwa ajarannya memang dipraktekkan secara meluas. Paduan ajaran Mahāyāna dan Tantrayāna menjadikan SHK unik dibanding kitab-kitab Buddhis lainnya yang biasanya hanya mencakup salah satu tradisi.


“Apa yang istimewa dari SHK ini? Adalah bahwa SHK ini menyatukan Sutra dan Tantra. Jadi sutranya adalah Pāramitāyāna dan tantranya adalah Mantranaya. Jadi, ini merupakan suatu kitab yang lengkap tentang ajaran agama Buddha. Ini keistimewaan yang tidak ada di belahan dunia manapun yang mengintegrasikan Pāramitāyāna dengan Tantrayāna ini,” ujar beliau. Inilah keistimewaan SHK yang kedua.


Beliau memaparkan bahwa SHK merupakan suatu karya yang ditulis oleh ācārya yang mumpuni. Pengetahuan sang ācārya akan sutra-sutra dan tantra tergambar jelas di dalamnya selain karena mengutip banyak sumber, ia juga telah berhasil memadukan dua yāna (jalan) yakni jalan pāramitā dan jalan tantra ke dalam satu pustaka.


SHK sebagai panduan, Borobudur sebagai mandala


Alih-alih dianggap sebagai sebagai sebuah kitab akar, Pak Prof. Nanung memahami SHK sebagai sebuah panduan praktik (sādhana), sedangkan Borobudur adalah mandalanya. “Jadi Sang Hyang Kamahāyānikan adalah teori dan Borobudur adalah praktiknya,” ujar Prof. Nanung sambil tersenyum.


Melanjutkan pembahasannya tentang mandala, Prof. Nanung mengaitkannya dengan kisah yogi Tibet yang tersohor, Milarepa. Sebelum dipercaya untuk bermeditasi sendiri, Marpa -- guru dari Milarepa -- membuatkan mandala kepada Milarepa. Namun, mandala ini bukanlah mandala yang solid, melainkan sejenis mandala yang diproyeksikan lewat pikiran. Milarepa baru bisa melihat mandala itu selepas memperoleh izin dari Marpa. Ini sejalan dengan SHK, yakni siswa dipersiapkan untuk dapat melihat mandala. Pada Sang Hyang Kamahāyānikan dijelaskan bahwa sebenarnya mata seorang siswa tidak bisa melihat Sang Hyang Mandala sebelum diberikan izin berupa abiseka dari Sang Wajradhara, yakni gurunya. Izin ini tentu baru akan diberikan setelah si murid bisa mencapai tingkatan spiritual tertentu sehingga memenuhi syarat untuk bisa melihat mandala. Sampai di sini, diketahui pula kemampuan ācārya dalam SHK pasti piawai membimbing dan mampu “melihat” siswanya jaba-jĕro (istilah dalam bahasa Jawa Kuna yang bermakna ‘luar dan dalam’).


Prof. Nanung juga menyampaikan mengenai status Borobudur sebagai mandala, pada masa lalu ia tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang. Terkait dengan ini, moderator mengajukan pertanyaan tentang mengapa tidak ditemukan struktur pagar untuk membatasi akses ke Borobudur. Walau candi tersebut seharusnya terbatas untuk praktisi di tingkatan tertentu. Beliau menjawab bahwa hal ini disebabkan karena pulau Jawa merupakan pulau yang padat penduduk. Oleh karena itu, sangat besar kemungkinan struktur pagar sudah digunakan untuk keperluan lain, misalnya pembangunan pabrik gula di zaman kolonial. Diskusi pun berlanjut dengan membahas keterkaitan Borobudur gugusan candi Buddhis di sekitarnya. Kompleksnya dikatakan bisa mencapai luas 10 km. Narasumber lalu membenarkan pernyataan moderator bahwa candi sebesar Borobudur tidak mungkin tidak memiliki dukungan berupa lahan yang luas sebagai penopang “hidup” bangunan itu sendiri.


Dalam konteks kekinian, apabila peziarah tidak memiliki pengetahuan akan Borobudur, maka ia hanya menjadi objek selfie saja. Namun sebaliknya, dengan menggunakan SHK, peziarah akan mendapatkan suatu religious experience (pengalaman rohani).


Kaitan dengan Suwarnadwipa dan Buddhisme Tibet


Prof. Nanung juga menyajikan kemungkinan yang mengejutkan mengenai Suwarnadwipa, pusat peradaban Buddhis Nusantara yang selama ini identik dengan Pulau Sumatra dan Kerajaan Sriwijaya. Beliau meyakini bahwa pusat perkembangan Buddhisme, khususnya di abad VIII-IX saat Borobudur didirikan, terletak di Pulau Jawa, tepatnya dalam naungan dinasti Syailendra dan Kerajaan Mataram Kuno. Beliau berpendapat demikian karena catatan sejarah tentang Kerajaan Sriwijaya hanya ada sampai abad VII. Hal ini juga didukung dengan pernyataan beliau bahwa Suwarnadwipa bisa memiliki dua makna, yaitu “Pulau Emas” dan “Wihara yang Besar”. Wihara yang besar bisa merujuk pada kompleks candi seluas 10 km yang telah dijelaskan sebelumnya.


Sesi tanya jawab juga berlangsung sangat aktif. Di sesi ini, Prof. Nanung banyak memberikan informasi-informasi baru terkait perkembangan Buddhisme di Indonesia dan kaitannya dengan Buddhisme di Tibet. Beliau menemukan bahwa Buddhisme dari Nusantara Dibawa ke Tibet oleh Atiśa Dīpaṁkara Śrījñāna dan kemudian dilestarikan dan berkembang di sana hingga sekarang. Bukan sebaliknya. Prof. Nanung juga memperkenalkan kembali sosok Guru Suwarnadwipa Dharmakirti, guru dari Atiśa, yang Prof. Nanung yakini sebagai ācārya kerajaan pada masa kekuasaan Dinasti Syailendra.


Dari keterkaitan tersebut, Prof. Nanung menyimpulkan bahwa jika kita ingin tahu seperti apa praktik Buddhisme di Nusantara pada masa keemasannya, kita bisa merujuk pada praktik Buddhisme Tibet di masa kini.


Ketika ditanya mengenai siapa kira-kira yang mendirikan Borobudur, Prof. Nanung menjelaskan bahwa Borobudur merupakan konsensus banyak orang yang sepemikiran untuk mewujudkan mandala yang disampaikan oleh Sang Ācārya. Oleh karena itu, tidaklah mungkin kita menempelkan nama satu orang sebagai perancang Candi Borobudur. Walaupun banyak informasi yang memang belum tersingkap, kesimpulan yang bisa diambil dari temuan arkeologis adalah bahwa Borobudur merupakan candi peninggalan Buddhisme Tantrayāna yang merupakan cerminan dari ajaran SHK yang saat itu menjadi resmi wangsa Syailendra.

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
Archive
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page