top of page

Shonnu O (1075-1138) : Perwujudan Siswa Terunggul (Bag. 1)


Shonnu O,

Yang mengikuti guru spiritualmu dengan sempurna,

O Putra Sang Pemenang,

Aku memohon padamu!


Para Buddha memiliki kualitas tanpa batas, demikian pula realisasi spiritual mereka yang disebut sebagai ‘jalan’, yang menghasilkan pencapaian tertinggi berupa pencerahan agung sempurna. Motivasinya demi kebaikan semua makhluk. Metodenya dengan memurnikan batin dan mengembangkannya hingga mencapai penyatuan dengan batin sang guru, yang sesungguhnya merupakan perwujudan kebijaksanaan terunggul semua Buddha, dimana manifestasinya terwujud dalam bentuk yang memungkinan dapat membimbing sang murid. Dengan demikian, tanpa keraguan apapun, dasar dari semua kebajikan adalah bertumpu dengan cara yang benar pada guru melalui pikiran dan perbuatan, sebagaimana Je Rinpoche tekankan dalam penjelasan tentang tahapan jalan, atau lamrim dalam bahasa Tibet.


Selang generasi ke generasi, sejak masa Buddha Sakyamuni hingga sekarang, para pemegang instruksi lamrim terkenal akan teladan mereka dalam melayani guru. Meskipun semua buddha memiliki kualitas yang sama, namun masing-masing dicirikan dengan sifat-sifat tertentu - ada yang berupa kebijaksanaan, welas asih, aktivitas, ataupun kekuatan. Sama halnya, di antara para murid silsilah lamrim, Shonnu O adalah perwujudan siswa terunggul yang menunjukkan berbagai manfaat dari praktek mendasar dan berharga secara sempurna.


Wilayah Tolung membentang dari barat laut Lhasa dan dilalui sebuah sungai yang namanya menjadi nama wilayah tersebut. Seorang anak yang diberi nama Bumtag, ‘Seratus Ribu Harimau', lahir disini, tepatnya di Golgolung pada tahun Kelinci-Kayu [1O75]. Tak butuh waktu lama, beliau diakui sebagai salah satu permata dari suku Nyo seperti halnya tokoh-tokoh agung Potawa dan banyak lainnya. Sayangnya kebahagiaan sang ibu muda, Jangsa Cambu, tidak bertahan lama. Suaminya, Yungdrung Bar -nama yang kedengarannya berasal dari tradisi Bon — meninggal tak lama setelah kelahiran putra mereka.


Sejak usia sangat muda, Bumtag menunjukkan kecenderungan istimewa. Ketika pertama kali berjumpa guru agung Kadampa, Tolungpa Rinchen Nyingpo (1O32 - 1116), pada usia 7 tahun, sang Guru merasa takjub dengan keyakinan luar biasa anak ini dan segera menurunkan beberapa ajaran untuk menjalin hubungan. Akan tetapi, Bumtag muda tidak mengambil sila kebhiksuan apapun hingga berusia 11 tahun. Beliau menerima pentahbisan sebagai sramanera di biara Tsathog Gonpa dari guru Gompa Jhangtrag, murid Gonpawa, yang dibantu oleh Yeshe Gyaltsen, murid Chen-ngawa. Sejak saat itu beliau diberi nama Shonnu O, yang artinya 'Cahaya Muda’.


Sramanera muda ini segera diberi berbagai tugas. Saat baru berusia 13 tahun, beliau telah menjadi pengawas di Golgolung. Sepanjang tahun, kecuali ketika dipanggil pulang saat ibunya hendak meninggal, beliau tidak pernah sekalipun gagal memenuhi tugas-tugasnya dengan sama telitinya. Beliau mendorong ibunya untuk berlindung kepada TRI RATNA dan membangkitkan batin pencerahan, untuk membantunya memperoleh kehidupan mendatang yang terbaik.


Rasa bakti beliau dalam memenuhi kewajiban merupakan sedikit penghiburan bagi anak yatim ini, yang sebenarnya telah secara penuh merasa muak terhadap samsara. Pada usia 16 tahun, beliau mencari Tolungpa, yang memberinya ajaran tentang tahapan jalan berdasarkan risalah agung seperti Bodhicaryavatara dan Siksasamuccaya. Shonnu O menerapkan instruksi dan melayani gurunya selama lima tahun dengan penuh keyakinan dan rasa bakti, hingga mereka berangkat ke Chorwa untuk mengunjungi Chen-ngawa yang terkemuka. Chen-ngawa sangat menekankan betapa beruntungnya Tolungpa mempunyai murid seperti Shonnu O. Akhirnya, Tolungpa menawarkan untuk meninggalkan Shonnu O jika Chen-ngawa menghendaki demikian. “Apakah engkau benar-benar siap menyerahkannya padaku?” tanya Chen-ngawa. Karena tahu hal ini akan menyenangkan gurunya, Tolungpa menyerahkan langsung sang sramanera muda setelah di dandaninya dengan sebuah syal sutra!


Satu tahun berlalu. Chen-ngawa berkata kepada Shonnu O bahwa Tolungpa pasti membutuhkan dirinya. Setelah terlebih dahulu dipakaikan perlengkapan megah, Shonnu O pun diberangkatkan pulang.


Setibanya, beliau disapa dengan dingin: “Apakah kau telah menyinggung guruku?”


“Aku tidak melakukan apapun yang menyinggungnya. Aku pulang atas perintahnya, sambil berkata bahwa engkau membutuhkanku.”


“Apa kau bilang? Kau kuserahkan tanpa batas waktu. Kau boleh menginap malam ini, tapi harus kembali pagi-pagi besok!”


Belakangan Shonnu O mengingat bahwa setelah peristiwa yang agak memalukan ini, beliau merasakan kebahagiaan luar biasa. Kebahagiaan ini dirasakan pula oleh Chen-ngawa, yang begitu bergembira atas kedatangannya kembali dengan berkata, “Mulai sekarang, kita akan hidup bahagia bersama, sebagai ayah dan putra.”


Selama lebih dari sembilan tahun berikutnya, Shonnu O membaktikan diri untuk melayani guru tercintanya, yang tak pernah kehabisan pujian, “Dengan kebijaksanaan yang kau miliki, kau akan berhasil, meski hanya menjadi tukang sapu di Nyerthang!” Dan bahkan, “Jangan abaikan diriku saat kau mencapai pembebasan sempurna.” Potawa sampai-sampai memberi tahu para muridnya bahwa ada yang jauh lebih unggul, yang bisa ditemukan dalam diri 'Putra dari Limo’. Potawa memerintahkan mereka mengunjungi Chen-ngawa untuk melihat bagaimana muridnya bersikap.


Penghargaan yang ditunjukkan guru mereka terhadap Shonnu O tak pelak menimbulkan rasa iri di kalangan beberapa murid lain, terutama yang lebih tua. “Setelah memiliki bhiksu muda, kita, para bhiksu tua ini, tak lebih dari sekedar anjing.” Hal ini menunjukkan bahwa meski berada pada posisi setinggi mereka, para bhiksu Kadampa masih mengalami klesa manusia biasa.


Sebagai bentuk pembelaan dari para bhiksu yang iri tersebut, bisa dikatakan bahwa Chen-ngawa memberi sedikit sekali perhatian untuk menjaga perasaan mereka. Ketika Tolungpa berkunjung dan menanyakan pendapatnya tentang Shonnu O, Chen-ngawa menjawab bahwa beliau akan menjelaskan jika orang yang dimaksud telah meninggalkan ruangan. Namun saat Shonnu O belum jauh beranjak dari pintu, Chen-ngawa sudah menyanyikan pujiannya. “Si bhiksu muda? Ia memiliki keyakinan yang lebih besar dibandingkan diriku, kebijaksanaan yang lebih besar, semangat yang lebih besar, dan welas asih yang lebih besar. Tombaknya berputar melintasi angkasa. (Tak ada yang mampu menghalanginya [sebuah pepatah Tibet])"


Chen-ngawa memastikan agar Shonnu O hadir pada semua sesi pengajaran dan memberinya berbagai inisiasi, sekaligus instruksi-instruksi. Beliau secara khusus mengajarkan ritual pentahbisan dengan sangat terperinci, dengan ramalan bahwa Shonnu O akan ‘membutuhkannya’. “Tadinya kupikir kau akan jadi petapa, tapi tidak, kau akan membentuk sebuah kelompok."


Ketika Shonnu O menceritakan mimpinya tentang sebuah stupa kecil yang dipenuhi cermin, sang guru berseru, “Kasihan kau! Ini pertanda bahwa kau akan selalu berhubungan dengan banyak orang.” Jayulwa (Dikenal setelah mendirikan biara di Jayul) membenarkan hal itu beberapa tahun kemudian. “Saat melayani guruku, ada banyak sekali bhiksu yang harus aku atur. Bahkan sekarang pun, aku tanpa henti harus berurusan dengan jumlah yang sama banyaknya!”


Shonnu O banyak menggunakan waktu untuk mencuci dan memasak, pendeknya mengatur berbagai urusan rumah tangga, sehingga orang lain mengira dirinya tidak memiliki kemampuan mempelajari dan memahami Dharma. Tuduhan tersebut dijawabnya dengan sangat tegas, “Aku langsung memahami makna ajaran begitu kata-katanya masuk ke telingaku. Hanya itu yang kuperlukan.” Bahkan suatu hari, saat sedang membuang sampah, beliau baru saja menjejakkan kakinya di anak tangga ketiga, seluruh makna Tripitaka (sutra, abhidharma, dan vinaya) muncul jelas dalam batinnya, dan langsung membawanya ke konsentrasi mendalam. Pengalaman meditatif ini memperkuat keyakinan pada manfaat pengabdian diri melayani guru spiritualnya. Sambil berpikir, “para geshe dari Gyudmed menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar, bukan melayani guru-guru mereka. Mereka benar-benar tersesat”


“Berkat keyakinan dan kebijaksanaannya, Rinpoche tak sedikit pun punya keinginan akan benda materi,” kata beliau. “Namun demikian, aku tetap menyiapkan 13 pasang pakaian hangat untuk beliau dalam waktu sebulan. Aku rela berkeringat darah demi memastikan beliau tetap menjaga kekuatannya. Bagaimanapun, sedikit kualitas yang aku miliki kini, pengetahuan, sila, meditasi, dan sebagainya, semua berakar pada yang satu ini: berusaha menyenangkan guruku.”


Dengan demikian beliau melipatgandakan persembahannya, mulai dari yang tertinggi, yakni mempraktekkan instruksi yang diterima, hingga yang paling umum, yang sama sekali tidak beliau remehkan karena beliau tahu bahkan hal terkecil sekalipun dapat memberikan hasil luar biasa. Suatu saat beliau kembali ke tempat kelahirannya, daerah penghasil emas. Disana, beliau berhasil mengumpulkan 12 takaran emas. Beliau juga menambahkan delapan takaran lagi yang diberikan oleh Tolungpa dan mempersembahkannya kepada guru Chen-ngawa.













Sumber:

Byang-chub lam gyi rim-pa’I bla-,a bru=yud-pa’i rnam-par thar-pa rgyal bstan mdzes-pa-i rgyan mchog phul byung no bu’i phreng ba (lam rnam), karya Yongzin Yeshe Gyeltsen.


Karya asli berbahasa Inggris dikoordinasikan oleh Marie-Stella Boussemart berdasarkan petunjuk Venerable Dagpo Lama Rinpoche

Terjemahan dari Bahasa Prancis ke Inggiris kemudian ke Bahasa Indonesia oleh Tim Penerjemah di Yayasan Suvarna Dharma Chandra Loka, Bali-Indonesia

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
Archive
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page