VYAGHRI JATAKA (bag 1): TAK MERASA SENANG PADA KEKUASAAN, KEKAYAAN, ATAUPUN KEMASYHURAN
“Belas kasih Sang Buddha menjangkau seluruh makhluk hidup. Belas kasihnya yang sempurna, tiada terlukiskan serta tak terbatas. Dikumandangkan dalam seluruh kelahiran masa lampaunya”
Sebelum menjadi seorang Buddha, Bodhisatwa dalam rangkaian kelahirannya, berdasarkan kebijaksanaannya, memberkati dunia dengan tiada terhitung peragaan belas kasihnya, yang ditunjukkan melalui perbuatan dana, kata-kata yang menyenangkan, pertolongan serta kesamaan antara ucapan dengan perbuatannya.
Dalam suatu kelahirannya, Bodhisatwa terlahir dalam keluarga brahmana yang dihormati karena kemurnian sila serta ketekunan ibadahnya. Sebagai hasil dari timbunan kebajikan dalam kehidupan lampaunya, ia mendapati dirinya bergelimang dalam kekayaan, kedudukan, dan kemasyhuran.
Sebagai pemuda, kedalaman kepandaiannya dicapai berkat kegigihannya dalam belajar. Dengan segera ia mahir dalam seni serta pengetahuan yang sangat hebat hingga bahkan para brahmana menghormatinya sebagai suri teladan, seperti kitab-kitab sendiri; bagi para ksatria perang, ia dihormati laksana seorang raja. Bagi mereka yang haus akan pengetahuan, ia tampak sebagai mata air pengetahuan yang tak kan pernah kering; dan bagi rakyat banyak, ia bagaikan seorang dewa.
Namun demikian dirinya tak merasa senang pada kekuasaan, kekayaan, ataupun kemasyhuran. Karma masa lalunya dan perenungannya terhadap Dharma yang terus menerus, telah membuat batinnya murni; ia melihat segala sesuatu dengan jelas bahwa penderitaan yang tiada akhirlah yang menyertai kebahagiaan duniawi, di samping sikap penolakan terhadap samsara memang telah mengakar dalam dirinya. Tanpa ragu, ia menjauhkan diri dari kehidupan perumah tangga, seolah seperti suatu penyakit, pindah ke tempat pengasingan di hutan sepi yang kemudian menjadi terhias dengan kehadirannya.
Mengingat bahwa keinginannya hanya sedikit, sikap kepura-puraan tidak dikenalnya; penghormatan, perolehan, dan kesenangan, tidak menarik baginya. Mendengar tentang penolakan duniawi yang dilakukannya, para sahabat dekat yang telah tertarik padanya karena kebajikannya, meninggalkan keluarga mereka dan bergabung menjadi siswanya. Ia menerima mereka dengan senang hati dan mengajari mereka apa yang disebut sebagai tingkah laku utama, rasa puas, penyucian indrawi, sikap sadar, ketidakterikatan, meditasi pada maitri karuna serta ajaran-ajaran semacam lainnya.
Pada suatu hari, Mahasatwa, dengan diiringi oleh seorang siswanya bernama Ajita, pergi menyusuri jalan menuju gunung, ke tempat yang sesuai untuk melakukan meditasi. Ketika mereka melintasi sebuah jurang yang tertutup semak belukar, ketenangan mereka terganggu oleh suara geraman binatang buas.
Bodhisatwa melihat di dalam jurang, terdapat seekor harimau muda yang bermata sayu dan bertubuh lunglai. Jelas sekali bahwa ia lemas, sudah tidak makan selama beberapa hari disebabkan karena kesulitan sehabis melahirkan. Tersiksa oleh rasa lapar, ia mulai menatap anaknya sendiri untuk diterkam. Bodhisatwa melihat bahwa anak harimau yang kehausan, dengan tanpa rasa takut, penuh rasa percaya mendekati ibunya yang menatapnya dengan tajam dan menggeram seolah-olah ia anak harimau lain.
Tergetarlah hati Bodhisatwa, bagaikan pohon besar yang terguncang oleh gempa bumi, terguncang oleh derita yang dilihatnya. Demikianlah orang yang sungguh berbelas kasih tersentuh oleh penderitaan kecil makhluk lain, bahkan tak menghiraukan penderitaan berat dirinya sendiri.
Didorong oleh belas kasihnya yang besar, ia berkata kepada siswanya, “Oh, lihatlah betapa buruknya mengasihi diri sendiri; seorang ibu akan memakan anaknya demi memuaskan rasa laparnya! Demikianlah, teman ketidakpantasan di dalam samsara. Siapakah yang kemudian akan menuruti kecintaannya pada diri sendiri, bila mereka melihat apa yang akan diakibatkannya! Cepatlah pergi dan carikan mereka makanan, agar ia tidak menyakiti anaknya sendiri, dengan begitu juga tidak menyakiti dirinya sendiri. Aku akan berusaha menghalanginya sampai engkau kembali.”