Tiga Jenis Praktisi (2): Membebaskan Diri Dari Samsara.
Kapasitas Menengah
Kualitas motivasi berikutnya yang lebih tinggi memiliki tujuan lebih jauh melampaui kebahagiaan sementara di kehidupan yang akan datang. Tidaklah cukup dengan hanya mengejar kelahiran yang lebih tinggi di kehidupan mendatang. Kelahiran demikian tidak berarti bahwa kita telah mencapai pembebasan apapun. Karena kita masih berada di dalam samsara, kita masih harus mengalami berbagai bentuk penderitaan didalam samsara. Meskipun secara sementara kita terbebas dari penderitaan dengan memperoleh kelahiran yang lebih tinggi pada kehidupan berikutnya, posisi ini bukanlah sesuatu yang aman. Pada motivasi kapasitas menengah ini, keinginan kita adalah untuk mencapai kebahagiaan yang stabil yang diperoleh dari pembebasan sepenuhnya dari samsara.
Bagaimana cara mengembangkan keinginan untuk terbebas dari samsara?
Hal ini dianalogikan dengan seseorang yang berada di penjara. Seorang narapidana tidak akan berpikir untuk keluar dari penjara jika dia merasa bahagia di tempat itu. Jika dia bahagia, maka dia akan terus berkeinginan untuk menetap di dalam penjara, bahkan tidak pernah berpikir untuk keluar. Sebaliknya, jika dia merasa tidak bahagia di dalam penjara, maka secara alami dia akan mencari cara untuk terbebas dari penjara.
Hal yang sama berlaku disini. Jika kita tidak menyadari sifat alami dari samsara, kita bahkan tidak akan pernah berpikir untuk keluar, untuk membebaskan diri kita. Inilah alasannya mengapa kita harus merenungkan penderitaan samsara.
Kita telah secara salah memahami penderitaan sebagai kebahagiaan. Kita tidak memahami sifat alami dari keberadaan kita pada kondisi ini. Terhadap penderitaan yang terwujud (I: Manifested Suffering, S: Dukkha-dukkha), yang tentu saja kita bisa menyadarinya sebagai penderitaan. Yang membingungkan kita adalah penderitaan akibat perubahan (I: Suffering of Change, S: Viparinama dukkha), dimana secara salah kita anggap sebagai kebahagiaan sejati.
Kita semua mungkin cukup mengerti apa itu pembebasan, apa itu samsara, karena kita adalah Buddhis. Meskipun demikian, kemungkinan ada beberapa di antara kita yang kebingungan dan memahami bahwa samsara adalah suatu alam di mana kita tinggal. Pemahaman ini sama sekali tidak tepat. Alam dimana kita tinggal bisa disebut sebagai tempat yang bersifat samsara. Akan tetapi, samsara sendiri adalah sifat eksistensi atau keberadaan kita. Sifat eksistensi kita ini terkait dengan skandha-skandha tidak murni yang kita miliki yang dipengaruhi oleh karma dan klesha kita. Lima skandha yang kita miliki adalah skandha bentuk, skandha identifikasi, skandha perasaan, skandha faktor-faktor pembentuk, dan skandha kesadaran. Lima skandha ini adalah tidak murni dalam artian bahwa mereka dipengaruhi oleh karma dan klesha kita. Inilah pengertian tepatnya mengenai samsara.
Apa yang terjadi pada diri kita dengan kondisi sekarang, kondisi fisik dan batin kita, adalah kita tidak bisa mengetahui bentuk kebahagiaan yang sejati. Ini adalah situasi kita sekarang, kita masih belum memahami dengan benar bahwa kita tidak menikmati kebahagian sejati apapun. Untuk memahaminya, kita harus merenungkan sifat alami dari samsara dan berbagai bentuk penderitaan yang kita alami di dalam samsara.
Semua kekurangan samsara tidak sulit untuk dipahami. Melakukan perenungan terhadap kekurangan-kekurangan ini sangatlah berguna, sangat membantu untuk kehidupan kita sehari-hari. Contohnya, jika kita menyadari penderitaan akibat ketidakpastian, ketidakpuasan, dan sebagainya, kita akan bisa mengatasi banyak masalah yang harus kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, kita bisa merenungkan hal-hal ini berulang –ulang dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi. Khususnya yang terkait ketidakpastian, banyak masalah di kehidupan kita berasal dari kondisi bahwa kita mencerap segala sesuatu adalah pasti. Kita memiliki pengharapan bahwa segala sesuatu adalah pasti, tetap sama. Ketika hal-hal ini berubah karena sifat alaminya untuk berubah, dan karena kita telah menjadi begitu yakin bahwa mereka akan tetap sama, kita menjadi sangat marah dan kecewa. Kondisi ini memberikan kesedihan yang luar biasa kepada kita.
Akan tetapi jika dari awal kita telah menyadari bahwa segala sesuatu pasti berubah, bahwa mereka semua tidak dapat diandalkan, bahwa kita tidak berharap mereka semua untuk tetap sama, maka ketika hal-hal tersebut berubah, kita tidak akan terkejut. Kita akan berpikir, “Baiklah, memang demikianlah sifat alaminya. Aku tidak bisa berharap segala sesuatu untuk tetap sama.” Dengan demikian, kita akan bisa mengatasi perubahan terhadap situasi kita dengan lebih mudah.
Jika kita bisa merenungkan kekurangan-kekurangan samsara yaitu harus mengalami ketidakpastian dan ketidakpuasan, maka setiap saat kita menghadapi masalah, pertama-tama kita tidak akan terkejut dan tidak akan menjadi marah. Lebih lanjut pemahaman kita terhadap sifat alami samsara akan menjadi lebih kuat, dalam artian kita akan berpikir bahwa, “Hal yang terjadi kepadaku ini adalah akibat kesalahanku harus terlahir kembali dalam pengaruh karma dan klesha. Karena aku belum terbebas dan selama aku masih berada di samsara, maka yang bisa aku harapkan hanyalah terjadinya hal-hal yang demikian.” Oleh karena itu, setiap saat kita menghadapi masalah, kenyataannya kondisi tersebut akan menjadi kesempatan bagi kita untuk menguatkan keinginan kita untuk membebaskan diri kita dari samsara.
Kita bisa melihat perbedaan besar antara orang yang mengetahui bagaimana merenungkan penderitaan samsara dan telah melatih dirinya; dengan orang yang sama sekali tidak mengetahui sifat alami dari samsara dan tidak pernah memikirkan tentang hal ini. Ketika menghadapi masalah, orang yang tidak pernah memikirkan tentang sifat alami dari samsara akan dengan mudah menjadi marah, khawatir, cemas, merasa bahwa kondisi tersebut tidak adil. Dia akan berpikir bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang seperti dirinya. Dengan kata lain, dia hanya akan menambah penderitaan untuk dirinya dan membuat segala sesuatu menjadi lebih parah karena tidak mengetahui apa yang sedang terjadi pada dirinya.
Sebaliknya, orang-orang yang telah melatih diri dengan merenungkan sifat alami dari samsara, ketika mereka memiliki masalah, mereka mampu memahaminya dalam konteks eksistensinya yang bersifat samsara. Mereka akan memahami bahwa wajar jika mereka menghadapi masalah karena mereka masih berada dalam samsara, masih memiliki skandha-skandha tak murni yang dipengaruhi oleh karma dan klesha. Selama masih berada dalam samsara, mereka terpaksa hanya bisa menerima terjadinya hal-hal demikian terhadap mereka, sehingga masalah tersebut menjadi tidak begitu besar bagi mereka. Ketika menghadapi masalah, mereka akan bisa memahaminya dan tidak menderita seperti jenis orang yang satu lagi.
Jadi kita bisa melihat perbedaan secara jelas antara kedua jenis orang ini. Orang yang tidak mengetahui bagaimana merenungkan penderitaan samsara akan menjadi marah, lebih menderita karena masalah yang harus dihadapinya. Sementara itu orang yang mengetahui bagaimana merenungkan hal-hal ini akan bisa memahami mengapa hal-hal tersebut terjadi dan menjadi tidak marah ketika mereka menemui masalah. Selain itu, orang yang melatih diri ini secara jangka panjang akan terus memberikan manfaat bagi dirinya karena ketika dia menghadapi masalah, dia akan melihat bahwa kondisi tersebut adalah karena eksistensi atau keberadaan samsara. Akibatnya, hal tersebut akan memberikannya aspirasi untuk secara cepat mencapai pembebasan dari samsara. Dia akan membuat latihan ini sebagai cara untuk memperoleh pembebasan dan dengan cara ini, tentu saja dia akan terus maju dan akhirnya terbebas dari samsara. Sementara, pada jenis orang yang satu lagi, yang menjadi marah ketika menghadapi masalah, kemarahannya malah akan menciptakan karma baru yang mengikat dirinya semakin kuat di dalam samsara. Akibatnya dia malah akan semakin lama berada di dalam samsara.
Apa yang menghalangi kita memperoleh pembebasan dari samsara adalah kemelekatan kita terhadap kehidupan sekarang dan kemelekatan secara umum terhadap samsara. Untuk memiliki keinginan memperoleh pembebasan dari samsara, kita harus melepaskan cengkraman kita terhadap kehidupan saat ini dan terhadap samsara secara umum. Oleh Karena itu, kita harus mengembangkan rasa muak terhadap samsara dan menolaknya.
Seperti yang dijelaskan oleh Je Tsongkhapa, metode untuk melepaskan kemelekatan terhadap hal-hal pada kehidupan sekarang adalah dengan merenungkan nilai besar dari potensi kelahiran unggul sebagai manusia, dan juga betapa sulitnya untuk memperoleh kehidupan seperti ini. Selain itu, kita harus merenungkan kepastian kematian, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, juga ketidakpastian kapan kita akan mengalaminya. Kemudian, kita juga harus merenungkan kenyataan bahwa pada saat kita akan mati, bukanlah kejayaan, teman, atau keluarga, bahkan juga bukantubuh ini yang akan berguna bagi kita. Hanya Dharma lah yang akan menolong kita. Jika kita merenungkan hal-hal ini berulang kali, kita akan bisa mengatasi kemelekatan terhadap kehidupan saat ini.
Kemudian bagaimana cara untuk mengatasi kemelekatan terhadap kelahiran mendatang? Dengan kata lain, bagaimana cara mengatasi kemelekatan terhadap semua hal menyenangkan di dalam samsara secara umum? Untuk melakukan hal ini kita perlu menerapkan kualitas utama yang biasa disebut Tiga Prinsip Jalan (I: Three Principle of the Path). Tiga Prinsip Jalan ini merangkum semua poin kunci ajaran Sang Buddha. Tiga Prinsip Jalan ini adalah:
Penolakan terhadap samsara.
Bodhicitta (atau batin pencerahan)
Pandangan Unggul (penembusan kesunyataan)
Seperti yang dijelaskan lebih lanjut di dalam Tiga Prinsip Jalan, caranya adalah dengan merenungkan secara berulang-ulang bagaimana hukum karma dan akibatnya bekerja. Dengan kata lain, merenungkan kepastian bahwa kebajikan hanya mengakibatkan kebahagiaan dan ketidakbahagiaan hanya bisa berasal dari ketidakbajikan atau karma buruk. Lebih lanjut dengan merenungkan pada kekurangan-kekurangan samsara, kita akan bisa melepaskan kemelekatan kita terhadap hal-hal menyenangkan dalam samsara.
Merenungkan kelahiran yang berharga sebagai manusia, hukum karma, dan kekurangan-kekurangan samsara secara umum, kita baru bisa melihat sifat alami dari samsara. Seperti yang dikatakan di dalam teks Tiga Prinsip Jalan, setelah merenungkan hal ini berulang-ulang, kita akan bisa melihat bahkan hal-hal paling menyenangkan di dalam samsara hanyalah sesuatu yang akan menyesatkan dan membodohi kita. Hal ini cukup untuk menguatkan keinginan kita untuk membebaskan diri dari samsara. Ketika kita membiasakan diri dengan pikiran seperti ini siang dan malam, kita akan sampai pada tekad bahwa tidak ada penyelesaian lain kecuali aku harus keluar dari samsara. Ini adalah tolok ukur bahwa kita telah merealisasikan penolakan terhadap samsara.
Kapasitas menengah ini memang memiliki jangkauan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan kapasitas kecil, karena kita tidak hanya mencari pembebasan sementara tetapi pembebasan yang pasti. Akan tetapi motivasi ini masih tetap dengan kualitas rata-rata dan bukan yang tebaik. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan motivasi ini masih tetap berada dalam kisaran persoalan pribadi kita, dimana kita mencapai pembebasan samsara untuk diri sendiri dan belum memikirkan pembebasan orang lain.
Disadur dari Buku “Lamrim: Buddhisme yang Lengkap dan Sistematis” karya Dagpo Rinpoche yang diterbitkan oleh Penerbit Kadam Choeling, Desember 2012.