top of page

APUTRA JATAKA : Kisah Tentang Tanpa Anak


Kehidupan seorang perumah tangga dikelilingi oleh urusan-urusan yang bertentangan dengan tujuan Dharma; mereka yang mencari kebenaran dengan gembira menolak kehidupan yang demikian.

Suatu ketika Bodhisattva lahir di dalam keluarga yang sangat kaya, dipuja berkat kebajikan serta tingkah lakunya yang terpuji, dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Bagaikan mata air yang segar bagi mereka yang menghendaki jalan kehidupan yang baik, keluarga ini berbagi timbunan kekayaan serta hasil alamnya dengan para sramana serta brahmana, dan juga membuka pintu bagi para sahabat serta sanak saudaranya. Orang-orang miskin serta orang yang kekurangan dicukupi dengan pemberiannya, para seniman mendapatkan perlindungan serta naungannya. Bahkan raja sendiri merasa senang menjaga kemurahan hati dan keramahannya.


Karena Bodhisattva telah tumbuh dewasa, ketertarikannya pada kepandaian telah membawanya untuk mempelajari seluruh cabang pengetahuan duniawi, yang juga termasuk pengetahuan tentang seni esoterik. Kepandaian yang telah dicapainya, ketampanan penampilannya, serta pengetahuan duniawi yang ia perlihatkan tiada berlawanan dengan ajaran Dharma, hingga merebut hati masyarakat yang mengikutinya, menganggapnya sebagai orang yang baik. Bukan saja bagi yang berhubungan kekeluargaan, akan tetapi juga yang baik maupun buruk, yang membawa pujian ataupun celaan, adalah yang menjadikan orang lain sebagai teman atau orang asing.


Kini tibalah saatnya Mahasattva mulai memikirkan jalan pelepasan. Merasakan kehidupan rumah tangga, dengan perjuangannya yang sulit untuk diraih, telah memperlihatkan kepadanya betapa bedanya kehidupan yang demikian dengan praktik Dharma. Di satu sisi, ia memahami dengan baik kebahagiaan yang dapat diraih di hutan pertapaan. Demikianlah, lambat laun batinnya mulai tak menyukai kesenangan di dalam rumahnya.


Pada saat kematian ayah dan ibunya, saat ia masih sedang berkabung, ia meninggalkan kediamannya yang sangat bagus dan juga perkebunannya. Menghadiahkan seluruh yang dimilikinya kepada para sahabat serta sanak saudara, kepada orang-orang miskin serta para sramana dan brahmana, ia kemudian pergi meninggalkan kota, la berjalan melewati desa-desa serta kota-kota, melintasi kerajaan serta ibu kota kerajaan, hingga akhirnya ia kemudian berdiam di suatu hutan di dataran tinggi dekat dengan sebuah kota kecil. Di tempat itu dengan segera mendapat penghormatan berkat keseimbangan batinnya, buah dari meditasi serta silanya yang luhur.


Tingkah lakunya yang mumi, karena praktik meditasinya bertahun- tahun, bersahaja dan terkendali tutur katanya, menunjukkan kebijaksanaannya, penuh dengan kerendahan hati, menyenangkan baik bagi telinga maupun hati. Tiada tertarik pada perolehan apa pun, pengajarannya berdasarkan kecakapan dengan sikap penuh percaya diri terhadap yang mendengarkannya, sangat mahir menyebutkan batas antara apa yang harus dijalani dan apa yang harus ditinggalkan berdasarkan Dharma.


Singkatnya, tingkah lakunya memberi teladan apa yang dapat diharapkan dari orang baik serta para pertapa tanpa rumah. Dan ketika orang-orang mengetahui bahwa ia telah meninggalkan kedudukan tingginya, mereka lalu lebih menghormatinya lagi. Sesungguhnya, kebajikan dalam berbagai bentuknya, tampak lebih jelas bila ditemukan pada orang yang lahir mulia, sebagaimana sinar bulan terpancar indah jika bersinar pada sebuah objek yang indah.


Setelah beberapa lama, sahabat dari almarhum ayahnya mendengar kabar mengenai tempat tinggalnya yang baru dan datang berkunjung, tertarik pada keutamaannya dalam kebajikan. Setelah mengungkapkan sikap bersahabat seperti pada umumnya tentang keadaan kesehatannya, tamu tersebut menyampaikan kepada pertapa tentang betapa akrabnya ia dengan ayahnya, dan dengan sendirinya menimbulkan pembicaraan yang panjang, pada waktu sahabat tersebut bercerita dengan penuh kesan:


“Mungkinkah bahwa Yang Mulia telah mengambil keputusan meninggalkan keduniawian pada usia yang begitu muda, karena ketidaktahuan, baik terhadap keinginan keluargamu, maupun pentingnya meneruskan garis keturunan? Apa yang ingin kau dapatkan dengan hidup di dalam hutan ini? Engkau dapat menjalankan kehidupan berkebajikan di dalam rumahmu sama mudahnya dengan di hutan belantara ini.”


“Mengapa engkau menjalani kehidupan yang sulit ini, berusaha untuk melahirkan kemiskinan saja? Di tempat ini Engkau harus hidup dari mengemis pada orang lain yang menganggapmu bukan siapa-siapa melainkan seorang pengemis biasa. Mengenakan pakaian usang, memutuskan hubungan keluarga serta handai tolan, Engkau bersembunyi di sini di tengah hutan; bahkan sekalipun musuhmu akan mengucurkan air mata melihatmu dalam keadaan seperti ini.”


“Pulanglah ke rumahmu; Engkau tak perlu menderita seperti ini. Di sana Engkau akan dapat memenuhi, baik keinginan akan praktik maupun tanggung jawab keluarga; di sana Engkau dapat menurunkan putra yang terpilih. Setelah semuanya selesai, jika orang miskin dapat merasakan kenyamanannya di dalam istana gubuk lumpurnya, betapa lebih nyamannya berdiam di dalam kediaman orang kaya, yang dilengkapi dengan kemewahan!”


Tetapi hati Bodhisattva telah disucikan oleh amrtha manis serta menyenangkan dari ketidakterikatan. Dalam hatinya ia mengetahui dengan baik perbedaan kehidupan berumah tangga dengan kehidupan sebagai seorang pertapa. Dorongan untuk menikmati kesenangan duniawi hanya akan membuatnya sulit, sebagaimana pembicaraan tentang makanan berlebihan bagi mereka yang sudah kenyang.


“Apa yang baru saja Anda sampaikan didasari oleh perhatian tulus, sehingga tak membuatku sulit,” jawabnya. “Sebaliknya, kami memintamu untuk tidak menggunakan kata-kata 'nyaman’ saat membicarakan seseorang yang hidup di dunia. Kehidupan rumah tangga sesungguhnya seperti penjara, tiada beda apakah seseorang kaya atau miskin, kehidupan seperti itu penuh dengan kesedihan. Lihatlah, orang kaya berjuang untuk menjaga hartanya, sedang yang miskin berjuang untuk mendapatkannya. Tak ada kenyamanan baik bagi orang kaya maupun orang miskin; hanya kesulitanlah yang ada!”


“Memang benar bahwa orang yang berumah tangga dapat menjalankan ajaran, tetapi tugas yang lebih sulit, sukar untuk dipahami. Kehidupan rumah tangga dibelenggu oleh urusan-urusan yang berada jauh dari Dharma, tujuan yang mengharuskan perhatian sangat besar. Berdasarkan hal ini, bagaimana bisa seorang perumah tangga menghindari berbohong, menyakiti yang lain, menekan yang lain? Perumah tangga sangat terikat pada kesenangan, sehingga hanya berusaha untuk mempertahankannya. Demikianlah, jika Engkau telah mencurahkan dirimu pada Dharma, Engkau harus menjauh dari urusan-urusan rumah tangga. Bila Engkau terikat pada tempat tinggal, bagaimana bisa Engkau mencapai Dharma?”


“Jalan Dharma diwarnai oleh kestabilan; jalan rumah tangga bernuansa kesibukan serta kebingungan. Kehidupan rumah tangga berlawanan dengan Dharma, dengan demikian siapakah di antara mereka yang benar-benar peduli pada dirinya sendiri mau berdiam dalam hidup seperti itu? Perumah tangga mudah sekali tergoda untuk mengabaikan Dharma, mereka mencari kesenangan dengan berbagai cara dan dengan segera bersikap tak terkendali. Kehilangan reputasi, penyesalan serta kemalangan sudah tentu akan mengikuti. Sungguh orang bijak, tepat menghindari keadaan yang mengupayakan kesenangan yang merusak Dharma. Bahkan, aku tak mengetahui bagaimana sebuah kehidupan rumah tangga membawa kebahagiaan, mengingat penderitaan yang ditimbulkan dalam mendapatkan serta mempertahankan harta kekayaan tak akan pernah usai.”


“Perumah tangga akan senantiasa berada dalam bahaya dibunuh ataupun diculik atau juga menjadi sasaran teror semacam lainnya. Bahkan sekalipun raja tak lagi merasa puas oleh hartanya sebagaimana samudra yang dipenuhi oleh air hujan. Bagaimana mungkin terdapat kebahagiaan dalam suasana di mana orang terus mendambakan berbagai objek indriawi dibanding menyempurnakan diri? Orang dapat segera meringankan luka tubuh dengan menaburinya dengan garam.”


“Harta kekayaan membuat perumah tangga sombong; kelahiran mulia membuatnya angkuh; kekuatan membuatnya kejam. Kemarahannya timbul hanya oleh kekecewaan yang kecil, keberuntungannya menimbulkan kekecewaan mendalam. Lalu kapan ada kesempatan untuk tenang?”


“Untuk itulah Pak, jangan bicarakan lagi mengenai kebulatan tekadku. Rumah adalah tempatnya berbagai derita. Dihantui oleh ular kesombongan, kebanggaan diri serta kegilaan, ia menghancurkan kesempatan meraih kebahagiaan ketenangan. Siapakah yang akan memilih berdiam di tempat yang penuh gangguan? Di hutan, sebaliknya, rumah bagi mereka yang memiliki kepuasan, pikiran menjadi tenang serta tiada terikat. Kebahagiaan seperti ini tak dapat ditemukan bahkan di surga Dewa Sakra.”


“Dengan mengenakan pakaian usang dan bergantung pada orang yang tak dikenal, aku merasa senang di sini. Bagaimana mungkin aku menginginkan kebahagiaan yang ternoda oleh perbuatan salah? Itu seperti makanan yang tercampur racun. Di sini aku telah meraih pandangan terang terhadap hati makhluk hidup.”


Kata-kata yang sedemikian menyentuh tak terelakkan lagi mempengaruhi sahabat ayahnya. Menunjukkan sikap hormatnya pada Mahasattva, ia lalu dengan rendah hati mempersilahkan apa yang dikehendakinya.


Dari kisah ini, orang dapat melihat bagaimana mereka yang benar- benar ingin membawa kebajikan bagi dirinya sendiri, menjauhi kehidupan rumah tangga, karena mereka mengerti bahwa kehidupan yang demikian berlawanan dengan, baik Dharma maupun ketenangan. Cerita ini juga cocok diutarakan pada saat memperbincangkan kebajikan tiadanya keterikatan, untuk menunjukkan bagaimana mereka yang telah sekali saja menikmati kebahagiaan tiadanya keterikatan akan kembali lagi pada kesenangan duniawi.


Sumber:

Jatakamala Oleh Acharya Aryasura, diterjemahkan oleh Upashaka Pandita Sumatijnana, diterbitkan oleh Bumisambhara, 2005

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
Archive
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page