top of page

Mengucapkan 36 Sila Pentahbisan Samanera di Usia Tujuh Tahun

Disadur dari "Lama Dari Tibet" Sebuah Autobiografi Oleh Dagpo Rinpoche bersama Jean-Philippe Caudron; Desember 2008



Tahun 1939, ayah memutuskan untuk membawa saya ke Lhasa dan berziarah ke tempat-tempat suci, kuil Jokhang dan Ramoche serta tiga biara besar filsafat Ganden, Drepung, dan Sera yang didirikan seperti tiga universitas Buddhis terkenal di India pada zaman dulu.


Kami pergi sekitar tahun baru Tibet dan saya baru berumur tujuh tahun. Ayah mengajak saya ikut salah satu dari empat ekspedisi yang dipimpinnya setiap tahun. Dalam ekspedisi ini, hasil wilayah Nandzong dibawa ke Lhasa untuk keluarga Dalai Lama XIII.


Perjalanan ini ditempuh dengan naik kuda selama dua belas hari. Seratus keledai dibebani dengan keju, buah kering, mentega, biji- bijian, bola tinta kering, dan lain-lain. Sore harinya, sebelum malam tiba, para pembantu melepaskan pelana dari binatang-binatang dan mempersiapkan kemah. Untuk menahan dingin dan menangkal kemungkinan datangnya penjahat, mereka mendirikan tembok melingkar dari semua barang muatan. Kemudian, mereka memasang tenda di tengah lingkaran yang dijaga oleh petugas bersenjata, dan kami tidak dapat keluar sampai besok pagi, hanya bertahan melawan cuaca dingin. Suhu udara pada musim itu paling dingin di sepanjang tahun, bisa mencapai -25fi C atau lebih rendah lagi pada malam hari. Kami tidak dapat melepaskan baju dari kulit binatang yang berbulu. Saya memakai sebuah baju berbulu berlengan panjang dan dihiasi dengan sulaman berwarna coklat serta sebuah topi dengan sulam kuning dari kulit domba yang diikat di bawah dagu.


Ketika tiba di ibukota, saya mendapat kehormatan untuk bertemu pertama kalinya dengan Guru Besar Phabongkha Dorje Chang (Penggubah “Pembebasan Di Tangan Kita”) yang pernah menjadi murid pendahulu saya, Dagpo Lama Rinpoche. Setelah itu beliau menjadi guru dari dua pembimbing pribadi Dalai Lama XIV yang sekarang, dan kedua pembimbing tersebut juga akan menjadi guru saya.


Sewaktu kami tiba di kediaman Phabongkha Dorje Chang, beliau memberikan abisekha Vajrabhairava, yaitu Manjushri, Buddha Kebijaksanaan dalam wujud murka, yang menjadi objek meditasi untuk mencapai pencerahan. Phabongkha Dorje Chang sangat berbahagia dengan kedatangan saya dan menyebutnya sebagai pertanda sangat baik. Beliau mempersilahkan saya untuk duduk di atas sebuah takhta kecil dan memberi permen. Ayah dan guru saya meminta kepada beliau untuk menulis doa umur panjang. Beliau menyetujuinya dengan gembira dan memberikan banyak hadiah. Suatu hari saya menemukan lagi doanya dalam kumpulan lengkap karyanya.


Hari itu juga, Ribur Rinpoche ditahbiskan. Sekarang beliau merupakan seorang lama senior yang berumur 74 tahun dan beliau berkeliling dunia untuk mengajar setelah dihukum kerja paksa selama bertahun-tahun oleh orang Cina.


Pada waktu itu juga saya ditahbiskan oleh Phurtchog Rinpoche, reinkarnasi dari salah seorang pembimbing Dalai Lama XIII. Sebuah peristiwa yang jarang sekali terjadi karena pada umumnya sila pertama diucapkan setelah seseorang berusia minimal delapan tahun. Sedangkan, saya mengucapkan 36 sila [sila sramanera} yang merupakan pentahbisan pertama, pada saat berumur tujuh tahun. Pentahbisan kedua, biasanya dilakukan setelah ujian geshe (doktor filsafat Buddhis) selesai dan terdiri atas 253 sila [sila pentahbisan penuh sebagai biksu].


Dengan tingkat keseriusan pelanggaran yang berbeda-beda, empat dari 36 sila itu [yang merupakan pelanggaran utama][if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" o:spt="75" o:preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"></v:stroke> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"></v:f> <v:f eqn="sum @0 1 0"></v:f> <v:f eqn="sum 0 0 @1"></v:f> <v:f eqn="prod @2 1 2"></v:f> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"></v:f> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"></v:f> <v:f eqn="sum @0 0 1"></v:f> <v:f eqn="prod @6 1 2"></v:f> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"></v:f> <v:f eqn="sum @8 21600 0"></v:f> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"></v:f> <v:f eqn="sum @10 21600 0"></v:f> </v:formulas> <v:path o:extrusionok="f" gradientshapeok="t" o:connecttype="rect"></v:path> <o:lock v:ext="edit" aspectratio="t"></o:lock> </v:shapetype><v:shape id="Picture_x0020_3" o:spid="_x0000_s1027" type="#_x0000_t75" alt="Description: C:\Users\AcerE5\AppData\Local\Temp\FineReader12.00\media\image1.jpeg" style='position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:-46.3pt; margin-top:118.45pt;width:14.4pt;height:282.7pt;z-index:-125829375; visibility:visible;mso-wrap-style:square;mso-width-percent:0; mso-height-percent:0;mso-wrap-distance-left:5pt;mso-wrap-distance-top:0; mso-wrap-distance-right:35.05pt;mso-wrap-distance-bottom:0; mso-position-horizontal:absolute;mso-position-horizontal-relative:margin; mso-position-vertical:absolute;mso-position-vertical-relative:margin; mso-width-percent:0;mso-height-percent:0;mso-width-relative:page; mso-height-relative:page'> <v:imagedata src="file:///C:\Users\AcerE5\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg" o:title="image1"></v:imagedata> <w:wrap type="square" side="right" anchorx="margin" anchory="margin"></w:wrap> </v:shape><![endif][if !vml][endif] mengharuskan saya untuk tidak membunuh manusia, tidak mencuri , tidak berhubungan seks dengan perempuan atau lelaki, dan tidak berbohong seperti menyatakan telah mencapai tingkat Kebuddhaan atau telah mendapatkan kualitas spiritual tertentu seperti welas asih, kebijaksanaan, cinta kasih, dan lain-lain. Salah satu dari empat sila utama itu jika dilanggar akan mengakibatkan pengusiran langsung dan selamanya dari biara. Pelanggaran 32 sila sisanya dan beberapa aturan lain tidak memberikan sanksi yang demikian tegas. Waktu mengucapkan sila, biksu kecil juga dilarang minum minuman keras, membunuh binatang, berlari tanpa alasan, berjalan sambil mengayunkan tangan, atau berpakaian secara berlebihan. Sesungguhnya semua ini untuk mengatur tingkah laku, dan pelanggaran dianggap sebagai kesalahan yang dapat diperbaiki dengan rasa penyesalan yang mendalam.


Ayah saya harus menyelesaikan banyak tugas dan tinggal di Lhasa selama dua bulan. Selama itu, saya menyaksikan perayaan tahun baru dengan gembira. Kami menginap di sebuah rumah besar milik perdana menteri. Di rumah ini terdapat banyak pembantu. Penyambutan duta besar dan orang-orang penting dengan pakaian dan topi yang eksotik menjadi tontonan yang sangat jarang untuk dinikmati seorang anak kecil seperti saya. Saya masih ingat jalan-jalan yang ada di Lhasa pada hari besar tersebut. Saya mengunjungi pasar* pasar ramai di kota suci ini dengan keheranan dan melihat untuk pertama kalinya orang asing seperti orang barat, Nepal, India, dan para pedagang Tiongkok – yang datang untuk memberikan penghormatan kepada keluarga Dalai Lama XIII yang meninggal pada tahun 1933.


Beberapa kali saya mengunjungi Istana Potala dan berziarah ke kuil-kuil suci. Akan tetapi, terus terang saya kurang begitu ingat lagi tentang hal itu. Selain karena masih kecil, saya lebih suka bermain jika diizinkan.


Dua tahun kemudian, pada bulan keempat atau kelima Tahun Tibet, ketika saya kembali mengikuti jadwal pelajaran di Bamcho, Kepala Biara Dagpo Dratsang (biara yang akan saya masuki pada umur 13 tahun) mengundang Phabongkha Dorje Chang untuk memberikan pelajaran Lamrim atau Jalan Bertahap Menuju Pencerahan, dengan kata lain, intisari praktik Buddhisme yang membawa menuju pencapaian Kebuddhaan dengan garis silsilah guru-murid yang tidak pernah terputus sampai sekarang. Kemudian, saya diputuskan untuk bergabung dengan 3.000 peserta yang akan hadir.


Sesungguhnya siapa itu seorang Buddha? Buddha adalah makhluk yang mencapai pencerahan sempurna. Istilah Kebuddhaan menunjukkan suatu keadaan yang sempurna. Keadaan yang sepadan dengan penghapusan sepenuhnya semua kekurangan dan semua halangan untuk berkembangnya semua sifat baik, kebijaksanaan, cinta kasih, dan lain-lain, untuk menolong semua makhluk hidup.[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_2" o:spid="_x0000_s1026" type="#_x0000_t75" alt="Description: C:\Users\AcerE5\AppData\Local\Temp\FineReader12.00\media\image2.jpeg" style='position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:-55.2pt; margin-top:-22.05pt;width:48.5pt;height:390.25pt;z-index:-125829374; visibility:visible;mso-wrap-style:square;mso-width-percent:0; mso-height-percent:0;mso-wrap-distance-left:5pt;mso-wrap-distance-top:0; mso-wrap-distance-right:13.95pt;mso-wrap-distance-bottom:0; mso-position-horizontal:absolute;mso-position-horizontal-relative:margin; mso-position-vertical:absolute;mso-position-vertical-relative:margin; mso-width-percent:0;mso-height-percent:0;mso-width-relative:page; mso-height-relative:page'> <v:imagedata src="file:///C:\Users\AcerE5\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image003.jpg" o:title="image2"></v:imagedata> <w:wrap type="square" side="right" anchorx="margin" anchory="margin"></w:wrap> </v:shape><![endif][if !vml][endif] Para Buddha menolong para makhluk bukan hanya dengan nasihat dan ajaran, tetapi juga dengan hal-hal yang lebih nyata. Tidaklah tepat jika berpikir bahwa Para Buddha tenggelam dalam keadaan kesunyataan atau dalam kebahagiaan yang sempurna [tetapi tidak menolong para makhluk]. Para Buddha dapat menampakkan diri dalam berbagai wujud untuk menolong makhluk-makhluk yang membutuhkan. Singkatnya, Nirwana bukanlah keadaan kebahagiaan sempurna atau kesunyataan [yang berdiam], Nirwana adalah keadaan batin para makhluk yang terbebas dari penderitaan.


Tahun itu, hujan lebat memenuhi Sungai Brahmaputra dan anak-anak sungainya. Arus air yang mengamuk menghadang perjalanan kami beberapa kali. Akhirnya saya tiba di Dagpo Dratsang terlambat beberapa hari, setelah pelajaran dimulai. Akan tetapi ketika saya memberi hormat, Phabongkha Dorje Chang tidak ragu sedetik pun. Setelah bertukar hadiah sesuai tradisi, beliau memberitahukan keputusannya, "Reinkarnasi Dagpo Lama Rinpoche harus menerima Lamrim untuk pertama kali secara keseluruhannya." Dan sebelum meneruskan pelajaran, beliau memberikan secara langsung beberapa transmisi kitab-kitab antara lain Lamrim yang ringkas berjudul Nyanyian Pengalaman Spiritual yang disusun oleh Je Tsongkhapa Sang Pendiri (1347-1419) dari aliran Gelugpa (Yang Bajik), kepada saya yang waktu itu masih anak-anak. Setelah itu saya duduk bersama para hadirin dan sang guru meneruskan pelajarannya yang berlangsung selama sekitar satu bulan.


Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya menikmati amirta pelajaran tentang Jalan Bertahap Menuju Pencerahan, obat semua penyakit dalam lingkaran kehidupan, Jalan yang mengabulkan segala permohonan, dan menuju ke Kebuddhaan. Padahal pada waktu itu saya belum berumur sepuluh tahun. Tentu saja saya juga belum bisa mengerti banyak walaupun sang guru menghiasi pengajarannya dengan cerita-cerita ringan.


Berbadan pendek dan kekar serta berwajah bulat, Phabongkha Dorje Chang selalu bersuka cita ketika mengajar. Berbeda dengan guru lain, beliau tidak pernah mengucapkan kata-kata keras atau menegur hadirin ketika perhatian mereka menurun. Sebaliknya beliau membuat pikiran menjadi santai dengan beberapa cerita pendek yang dapat saya ingat dengan mudah.


Setiap kali Phabongkha Dorje Chang menyebutkan nama gurunya, beliau segera merangkupkan kedua telapak tangan di atas kepala dan selalu menutupi wajahnya dengan selendang untuk menutupi air mata yang mengalir, lalu bangkit seketika sebagai tanda hormat. Ketika membaca doa permohonan kepada semua guru silsilah dan sampai pada bait permohonan pada Dagpo Lama Rinpoche, beliau pun merangkupkan kedua tangannya lagi di atas kepala.


Beliau sangat menghormati kitab-kitab suci yang merupakan pendukung pengajaran, dan tidak pernah membalik halaman dengan jari yang dibasahi ludah. Di dekatnya, selalu terdapat sebuah mangkuk kedi berisi air yang diwarnai saffron untuk membasahi jari, Pelajaran dengan kekuatan luar biasa yang diberikan membuat kami terpukau. Contohnya, ketika beliau menjabarkan manfaat kelahiran sebagai manusia dengan 18 kualitas yang memungkinkan perkembangan spiritual, setiap orang merasa bersemangat dan gembira, menyadari keberuntungannya. Sebaliknya, ketika beliau menjelaskan tentang topik kematian dan ketidakkekalan, salah satu kunci untuk berpraktik, setiap hadirin merasa begitu terpuruk dan tak seorang pun yang berani menengadahkan kepalanya. Namun, beliau juga suka bercanda. Suatu hari, beliau mengambil sebuah tasbih yang terbuat dari zi, batu berharga yang sangat disukai di Tibet dari leher salah seorang asistennya yang selalu berpakaian rapi dan menyukai barang-barang bagus seraya menunjukkannya kepada saya sambil tertawa dengan leluconnya.


Sebelum saya berangkat ke Bamcho, dalam suatu pertemuan pribadi, Phabongkha Dorje Chang memberikan nasihat-nasihat dan menganjurkan dengan terperinci guru-guru kepada siapa saya harus meminta abisekha dan transmisi. Apa itu transmisi? Guru menanamkan pelajaran pada batin muridnya seperti benih dan mengizinkannya untuk menyampaikan ajaran tersebut kepada orang lain. Beliau sendiri memberikan transmisi meditasi Tara Putih yang beliau susun sendiri dan menganjurkan saya untuk mempraktikkannya setiap hari supaya berumur panjang. Akhirnya beliau memperlihatkan mandala yaitu simbol alam semesta, dan tiga benda yang melambangkan tubuh, ucapan, dan batin (dari Para Buddha). Sebagai perlambang tubuh, beliau memberikan sebuah rupang Amitayus, Buddha Umur Panjang. Sebagai perlambang ucapan, beliau memberikan kitab "Lamrim Agung" milik beliau dan satu set lengkap jubah biksu. Sebagai perlambang batin, beliau memberikan saya sebuah vajra dan genta. Beliau menganjurkan saya untuk belajar dengan rajin dan bekerja demi ajaran Buddha untuk kebaikan semua makhluk hidup, artinya mengikuti jejak pendahulu saya. Lalu beliau menyatakan akan selalu mendoakan saya.


Bagaimana mungkin saya dapat melupakan saat itu! Phabongkha Dorje Chang berdiri dan menangis ketika melihat saya untuk pertama kali. Beliau melihat saya sebagai reinkarnasi dari gurunya yang sangat dipuja dan begitu dicintainya. Di atas altar pribadinya, beliau meletakkan sebuah rupang emas Dagpo Lama Rinpoche dan di hadapannya terdapat sebuah cangkir dengan tatakannya yang terbuat dari perak, dan selalu berisi teh. Beliau selalu membawa rupang dan perlengkapan persembahan dalam perjalanan. Suatu hari saya diberitahukan bahwa setiap pagi, beliau selalu memulai hari dengan persembahan teh untuk gurunya.

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
Archive
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page