top of page

Pada Usia Tiga Belas Tahun Memasuki Biara Filsafat di Dagpo

Disadur dari "Lama Dari Tibet" Sebuah Autobiografi Oleh Dagpo Rinpoche bersama Jean-Philippe Caudron; Desember 2008




Saya belajar di Biara Bamcho dari tahun 1939 sampai 1944. Sebelum meninggalkan Bamcho dan berangkat ke Dagpo Dratsang (perguruan Dagpo), guru saya menganjurkan untuk menghafalkan Abhisamayalamkara - satu dari lima risalah penting untuk persiapan belajar filsafat Buddhis. Risalah ini diturunkan oleh Buddha Maitreya, Buddha Cinta Kasih, kepada Arya Asanga, guru India yang menuliskan risalah ini pada abad IV. Karena saya berada di bawah tanggung jawab seorang guru baru di Dagpo Dratsang, ayah dan pendamping saya memohon nasihat dari mantan kepala biara Kyabje Ngawang Lodro. Ia seorang guru senior yang berumur 80 tahun, mantan Kepala Biara Dagpo Dratsang, pemegang garis transmisi Lamrim dan murid dari pendahulu saya. Walaupun penglihatannya telah kabur, namun ia masih mengajar.


Setelah merenung, guru senior itu mengatakan, "Untuk lama muda ini, saya menganjurkan seorang guru yang mahir, tidak terlalu galak dan sangat baik hati." Karena ayah saya tidak mengenal siapa pun di Dagpo Dratsang, ia memohon agar nama guru itu disebutkan. Kyabje Ngawang Lodro berujar, "Orang yang paling pantas adalah Losang Rigzine, anak seorang pembantu gubernur.”


Ayah saya pun mengundangnya ke Bamcho. Setelah mempersembahkan teh, nasi dengan kismis, selendang putih, dan mandala, dengan tiga benda sesuai dengan tradisi, ia mengungkapkan permohonannya dengan cara yang cukup unik, "Saya memohon kepada para guru dan Buddha untuk menunjukkan seorang guru yang paling cocok untuk anakku, seorang lama, dan saya diberitahukan bahwa Anda yang paling mahir. Saya memohon Anda mau mendidik anak saya yang tidak begitu cerdas, tidak juga terlalu bodoh."


Akhirnya geshe (doktor filsafat Buddhis) itu menyetujui untuk menjadi guru seorang tulku dan memikul tanggung jawab tersebut. Seandainya seorang tulku gagal dalam pelajarannya, gurunya harus bertanggung jawab. Ia langsung menganjurkan saya untuk terus menghafalkan Abhisamayalamkara. Dan untuk pertama kali, saya menemukan kembali, dalam kehidupan ini, guru baik hati yang pernah menjaga saya sejak kehidupan lampau yang tidak terhitung banyaknya. Bila terjadi hubungan spiritual yang baik, kami menganggap bahwa guru itu sudah pernah mengajar muridnya di kehidupan-kehidupan sebelumnya. Dan murid berjanji agar gurunya bisa kembali mengajarnya di kehidupan-kehidupan selanjutnya sampai ia mencapai Kebuddhaan. Janji itu memungkinkan adanya kelanjutan hubungan spiritual.


Ia tidak hanya sosok guru yang baik hati, tetapi juga riang dan santai. Di hari libur, ia senang bermain dadu dengan para muridnya. Sebagai pendidik yang luar biasa, ia menyadari bahwa saya tidak terlalu tertarik pada filsafat dan terus-menerus bertanya kepada saya, baik pada waktu makan atau waktu istirahat, berkaitan dengan topik pelajaran yang saya ambil. Contohnya, "Apakah benar menurut aliran vaibhashika (aliran filsafat Buddhis yang menerima keberadaan semua fenomena) bahwa pengertian fenomena efisien dan fenomena nyata adalah sama?" Waktu itu, terus terang, saya merasa itu sangat membosankan tetapi tidak berani mengeluh. Kemudian ketika saya sudah mulai rajin belajar, ia tidak pernah bertanya seperti itu lagi. Sebenarnya ia tidak pernah menegur walaupun saya seringkali tidak bisa menjawab pertanyaannya. Setiap malam Geshe Losang Rigzine membuat teh yang sangat kental untuk muridnya, para biksu muda. Ia menuangkannya ke dalam mangkuk ketika kami sedang melafalkan kitab suci selama berjam-jam. "Orang yang sedang melafalkan kitab suci membutuhkan minuman yang menyegarkan" katanya. Ketika penyerbuan dan pendudukan Cina, guru saya ini melepaskan sila sebagai biksu, menikah, dan memiliki seorang anak.


Pada umur 13 tahun, di bulan pertama tahun Tibet, saya memasuki komunitas biara filsafat Dagpo Dratsang tempat saya belajar sampai umur 23 tahun. Di belakang biara, di sebelah utara, menjulang gunung-gunung dengan tiga puncak bernama "Tiga Pelindung" yang menghadap ke arah selatan. Puncak yang tengah, bernama Gunung Avalokitesvara (Buddha Welas Asih), lebih tinggi dibanding dua puncak lainnya - Gunung Manjushri (Buddha Kebijaksaan) dan Gunung Vajrapani (Buddha Segala Kekuatan), dan menurut kabar, di lereng Gunung Vajrapani, Dewi Tara Putih (Buddha Umur Panjang) pernah menampakkan diri.


Di bawah gunung-gunung itu, terdapat sebuah gua yang sangat keramat tempat para Istadewata dari keempat kelas Tantra pernah menampakkan diri dengan mandala mereka masing-masing. Di bagian lebih bawah lagi, menjorok keluar dari batu, terdapat jambangan berharga yang menyangga tiga belas jambangan para dakini. Dari sisi kiri Gunung Vajrapani, terdapat sebuah bentuk seperti belalai gajah yang sedang minum. Di depannya, di kaki pegunungan, daratan tinggi membentang dengan hutan, gua-gua, padang rumput, pohon buah-buahan, pertapaan, dan desa kecil. Sungai Brahmaputra keluar dari sisi kanan Gunung Manjushri dan mengalir dengan agung ke arah timur.


Menghadap Dagpo Dratsang, terdapat Gunung Daridumpo yang cukup terkenal. Di sana, di tempat yang gersang, beberapa guru besar seperti Losang Tutop, kepala biara Dagpo Dratsang yang ke-108, pemah melihat perwujudan dari Istana Heruka, Buddha yang melambangkan kebijaksanaan sekaligus sukacita.


Dibangun di tengah dataran rendah, biara ini dikelilingi pagar yang terbuat dari batu-batu jernih berwarna putih. Di bagian tengah biara, terdapat bhaktisala utama yang menyimpan sebuah rupang Buddha Sakyamuni berukuran raksasa yang terbuat dari emas dan kuningan serta banyak benda lain seperti perlambang tubuh, ucapan, dan batin Buddha. Kamar para biksu berjajar mengelilingi bhaktisala. Di depan bhaktisala terdapat cheuras yang tinggi dan yang rendah, lapangan tempat debat dialektika diselenggarakan.


Kenapa gunung-gunung di belakang biara disebut "Gunung Tiga Pelindung"? Sebab, seperti diceritakan kepada para biksu muda, banyak orang yang berkeyakinan kuat dengan karma cukup mumi, dapat melihat langsung perwujudan Tiga Buddha Pelindung. Contohnya adalah, Jampel Lhundrup, kelahiran saya sebelumnya, seperti yang diceritakan oleh penulis biografinya.



"Ketika datang ke lapangan untuk berdebat dan memandang ke arah utara yang menghadap ke gunung dengan tiga puncak, Tiga Pelindung menampakkan wujudnya berkali-kali. Setiap kali kejadian itu berulang, Jampel Rinpoche meletakkan sebuah batu di depan kakinya sebagai persembahan mandala sampai akhirnya terbentuk tumpukan besar batu yang sekarang disebut "Tumpukan Batu Jampel,"


Biara Dagpo Dratsang yang didirikan pada tahun 1473, menurut tradisi lisan, awalnya hanya ditempati oleh delapan orang biksu. Hal ini dibuktikan dengan adanya sebuah tradisi kuno dan lucu yang masih berlaku hingga saat ini pada sesi pelajaran khusus, dimana donatur biara masih memberikan persembahan teh untuk delapan orang seperti yang dilakukan pada zaman dulu. Pada tahun 1950, persembahan teh masih tetap dilakukan seperti itu [yaitu dengan jumlah teh untuk delapan orang], tetapi dibuat untuk sekitar enam ratus biksu dan semua dapat membuktikan bahwa jumlah teh yang sedikit itu itu tidak cukup untuk mewarnai air.


Sesungguhnya jumlah biksu dapat berubah-ubah sepanjang abad. Berbagai biografi berbeda menyebutkan bahwa terdapat 330 biksu pada abad XVIII dan pada tahun 1959, sebelum pengasingan Dalai Lama serta penyiksaan dan penghancuran biara-biara, terdapat sekitar 700 biksu yang tinggal di Dagpo Dratsang.


Apa yang menunggu kami di masa depan? Menurut tradisi lisan pendiri biara, Je Lodro Tenpa, emanasi dari Arahat agung Lamthren Ten, pada suatu hari nanti akan terdapat 1.600 biksu di biara. Karena adanya hukum saling ketergantungan [dependent origination] di dunia ini, saya memperkirakan bahwa ramalan itu tidak akan meleset. Akan tetapi, jangan terlalu cepat bercerita tentang masa depan. Saya baru memulai cerita masa-masa awal saya sebagai pelajar filsafat yang merupakan tahapan awal kehidupan saya di biara. Pada awal kedatangan saya di Dagpo Dratsang, keluarga mengantar saya kesana. Mereka mempersembahkan teh dan makanan selama dua hari untuk seluruh anggota Sanggha. Saya mendapatkan manfaatnya langsung karena diberi status cheuze sebagai imbalannya. Status itu terdiri atas beberapa tingkatan dan setiap tingkat membebaskan seorang murid dari kewajiban-kewajiban tertentu. Contohnya, saya dibebaskan dari tugas mencari kayu. Tetapi, orang tua saya memilih tingkat yang paling rendah dan selain hak istimewa ini, saya tetap mengikuti semua aturan lainnya, seperti teman-teman saya lainnya. Di Dagpo Dratsang, para tutku tidak mempunyai hak istimewa, dan tata tertib berlaku sama untuk semua orang. Saya sangat senang karena ini, menurut saya, lebih mudah.


Pada waktu itu, Jigme Namgyel bertugas sebagai kepala biara. Ia seorang pangeran, keturunan Raja Agung Songsen Gampo, Raja Tibet ke-33 yang lahir pada tahun 629 dan penyebar Buddhisme yang penuh semangat di negeri kami. Kumis kepala biara yang begitu panjang sehingga dapat diselipkan ke belakang telinganya, sangat menghibur kami. Biasanya ia melintingnya dan ujungnya bergoyang ketika ia berbicara. Ia adalah seorang biksu yang keras dan tegas serta mengikuti aturan dan etika dengan ketat. Ia tidak memiliki apa-apa kecuali bukunya. Ia mengesankan sekaligus menakutkan kami.

Sebaliknya, pemimpin doa Tenpa Tsering sangat baik hati dan mempunyai suara yang luar biasa. Kendati sudah berumur, ia sering bercengkrama dengan para biksu muda dan sangat menyayangi mereka.


Di Dagpo Dratsang, umumnya, setiap murid dari tiga kelas logika dasar memiliki guru kedua atau pembimbing yang dipilih diantara murid-murid dari kelas yang lebih tinggi. Guru saya bernama Losang Kelden, seorang lama muda yang berasal dari Kongpo. Setiap malam, saat para biksu sedang melafalkan kitab-kitab yang sudah dihafalkan sepanjang hari, para murid dari tiga kelas dasar mendatangi pembimbing mereka secara bergiliran, berlutut dihadapannya dan sang pembimbing memberikan pelajaran singkat tentang logika atau nasihat tentang kehidupan di biara.


Saya memasuki kelas logika pertama, "kelas kecil", di akhir bulan pertama tahun Tibet (yaitu sekitar akhir Februari atau awal Maret). Saya juga mengetahui apa yang akan dipelajari, yaitu kitab Abhisamayalamkara, yang seperti yang telah saya ceritakan, adalah ajaran yang diberikan oleh Buddha Maitreya, yang mewujudkan cinta kasih universal. Kitab kedua yang akan dipelajari adalah autobiografi Je Tsongkhapa, pengulangan sila sramanera, dan tujuh topik pertama tentang logika. Pada tahun pertama itu, ujian menghafal harus ditempuh oleh seluruh kelas secara bersama-sama dengan melafalkan kembali selama berjam-jam. Kami melantunkannya dengan nada yang sesuai. Pada awalnya, semua melafalkannya secara bersama- sama dan kemudian, sedikit demi sedikit, jumlah yang melafalkannya berkurang. Akhirnya, hanya suara dari beberapa orang yang masih terdengar, mereka adalah murid yang mampu mengingat seluruh kitab suci.



Empat atau lima bulan kemudian, Thupten Phunchog, seorang biksu berumur 21 tahun dan berasal dari keluarga berada, masuk di kelas saya sebagai pemula. Kedatangannya dianggap biasa-biasa saja karena di biara hanya masa belajar di biara yang bersangkutan yang dihitung. Thupten Phuntcog dengan cepat menjadi teman saya yang paling setia, sahabat, kakak, dan pelindung saya. Guru dan pembimbing saya, menititipkan saya kepadanya dan memberikannya tugas untuk menjaga saya dan mengendalikan kenakalan saya. Kami satu kelompok dalam melakukan debat-debat dialektika. Sejak itu, kami tidak pernah berpisah. Bersama, kami beijalan menuju pengasingan pada tahun 1959. Bersama pula, kami berangkat ke Perancis pada tahun 1960 tanpa menguasai bahasa Perancis sepatah kata pun. Sekarang pun kami masih tinggal bersama di satu rumah di Veneux-les-Sablons, dekat Fontainebleau. Di sana, terdapat pusat belajar Buddhisme dan Institut Guepele yang saya akan ceritakan kemudian. Semua orang memanggilnya Geshe la, sebuah gelar kehormatan.


Bulan delapan Tahun Tibet, pada masa pelajaran di musim gugur, kami naik ke kelas dua, "kelas menengah". Saya dipanggil Kyorpon yang secara harfiah berarti "pemimpin pelafalan". Sejenis ketua kelas, biasanya yang paling berprestasi, dengan tugas memulai pelafalan kembali yang dilakukan secara bersama-sama. Kemudian kepala biara berganti setiap tiga tahun seperti biasa. Kepala biara yang baru adalah seorang siddha sejati, seseorang dengan pencapaian spiritual nyata dan menurut saya, dapat membuat orang lain mengaguminya seperti Santo Fransiskus dari Asisi.


Peristiwa lain adalah ketika saya sudah di kelas tinggi logika, pada bulan sembilan tahun Tibet atau tahun 1947. Pada saat itu, kami semua berangkat ke Lhasa, dimana seluruh biara mengikuti perayaan ulang tahun Dalai Lama yang berumur 12 tahun . Sesungguhnya ulang tahun yang ke-13 untuk orang Tibet, karena orang Tibet selalu menghitung masa 9 bulan kehamilan.

Acara ini istimewa karena baru akan diselenggarakan lagi ketika perayaan ulang tahun ke-25 Dalai Lama atau waktu penobatannya. Biksu dari biara kami biasanya tidak diperbolehkan untuk bepergian terlalu jauh dan hanya beberapa biksu yang mendapat izin untuk berziarah sampai ke ibu kota.


Perjalanan itu memakan waktu selama 12 hari. Ketika para biksu bepergian dari suatu tempat pembelajaran ke tempat pembelajaran lain, seratusan biksu diwajibkan berjalan kaki dan berjalan beriringan sesuai dengan aturan. Karena jumlah kami banyak, sulit untuk mendapatkan penginapan di perjalanan. Kami tidur beratap langit, diselimuti mantel wol. Meskipun kedinginan, kami tidak diijinkan membuat api. Kami merasa kedinginan, tetapi masih bisa ditahan. Saya pernah merasakan cuaca yang lebih dingin dalam sebuah perjalanan di musim dingin. Di malam hari, suhu udara turun sampai minus 20 derajat dan di pagi hari salju menutupi badan kami seperti mantel.


Jam keberangkatan disesuaikan rute perjalanan. Seandainya harus melintasi celah pegunungan pada siang hari, kami harus bangun sebelum subuh, sekitar jam tiga. Kami harus berangkat sangat pagi supaya dapat tiba di sisi lain dari gunung, sesuai jadwal dan sempat menemukan air yang sangat diperlukan untuk membuat teh, ini sangat penting untuk mencegah dehidrasi. Jika tidak, kami bisa tidur sampai jam 5 pagi. Upacara pelafalan doa harian segera dimulai setelah para biksu bangun. Berlangsung hanya sekitar satu jam jika perjalanan diperkirakan akan panjang. Sebab kami harus mengatur waktu untuk memasak, menyalakan api, mempersiapkan dan membagikan sekitar dua mangkuk teh kepada setiap orang, serta setelah meminum tiga perempat mangkuk minuman yang sangat panas seperti nektar sesungguhnya, sebagian akan disisihkan untuk dicampurkan dengan tepung tsampa, untuk membuat adonan.


Peraturan mengharuskan para biksu untuk berjalan perlahan sambil melafalkan doa-doa dalam keheningan - tetapi berbisik masih diperbolehkan. Sesungguhnya, para biksu tetap bercakap-cakap sehingga Kepala Disiplin dengan asistennya menjadi sangat sibuk. Bolak-balik menyusuri barisan kami yang panjang, mereka menjaga supaya setiap biksu tetap berkonsentrasi dengan doa-doa dan menegur mereka yang mengobrol. Kepala Disiplin dengan satu tali yang terbuat dari kulit yang dibelitkan di pergelangan tangannya, menegur mereka yang melamun atau tidak taat dengan satu pukulan cukup keras di kepala mereka. Ia memukul dengan keras untuk kesalahan yang lebih serius seperti ketika ada dua orang biksu muda yang mengobrol dengan keras, berkelahi, atau mengantuk, dan bukannya berdoa.


Setiap biksu membawa "ransel" di punggungnya dengan berat antara 15 sampai 30 kg tergantung usianya. Kepala Disiplin yang memikirkan kesehatan anak-anak, menititipkan sebagian perbekalan, terutama persediaan tsampa, kepada mereka yang paling kuat. Isi semua "ransel" sama dan dibungkus kain wol, yakni kain berukuran lebar yang dipergunakan sebagai tas, kain yang digunakan oleh biksu untuk duduk, kain yang digunakan untuk membungkus kitab, mangkuk untuk menerima derma, dan sebuah topi kuning.


Sepanjang perjalanan dan hanya pada waktu berjalan, sepatu boleh dikenakan. Selama beristirahat dan selama upacara, harus ditanggalkan. Hal yang sama juga diterapkan pada musim dingin atau panas. Di biara, peraturan menganjurkan para biksu untuk berjalan dengan telanjang kaki sepanjang hari. Tetapi kadang-kadang aturan itu dapat menimbulkan masalah. Sebuah kejadian membuat Geshe la dan saya, jika mengingatnya, masih tertawa sampai sekarang,. Suatu hari, karena cuaca dingin, salah satu kaki Geshe la pecah-pecah dan terinfeksi, dan seorang biksu tua membakar lukanya yang bernanah dengan lemak kambing panas. Pada hari itu Geshe la tidak tertawa sama sekali. Ia meminta kami untuk memegangnya erat-erat ketika biksu tua itu tanpa keraguan melakukannya. Ia berteriak kesakitan. Akan tetapi, obat itu sangat manjur karena keesokkan harinya Geshe la sudah tidak merasakan kesakitan lagi dan dapat berjalan seperti biasa.


Sekitar pukul 11.00-11.30, barisan berhenti untuk makan siang. Dua mangkuk teh, satu mangkuk sup dan beberapa butir adonan tsampa. Kemudian perjalanan dilanjutkan sampai malam tiba. Seringkali, pada sore hari, para biksu yang paling muda dan paling tua mengalami kesulitan untuk menanjak. Letih, terengah-engah, mereka menunggu temannya yang lebih kuat untuk menitipkan ransel dan membantu mereka menyelesaikan perjalanan sampai tempat pemberhentian berikutnya. Tetapi, seperti di biara, tidak ada makan malam, hanya teh. Dan suatu upacara pembacaan doa berlangsung selama dua atau dua setengah jam untuk mengakhiri hari itu. Sesungguhnya, selama perjalanan, kami tetap mengikuti program wajib harian dengan membaca kitab, meditasi, dan debat.


Sebelum berbaring untuk tidur selama tidak lebih dari empat atau lima jam, sebagian besar dari para biksu yang tersiksa oleh rasa lapar, makan diam-diam dan para guru sendiri memberikan sedikit makanan kepada anak-anak. Mereka menyadari bahwa tidak akan ada makanan sampai subuh besok. Sedangkan setiap sore, dua mangkuk teh dengan mentega dan garam disajikan di biara sesuai dengan selera kepala juru masak. Di samping itu, para biksu bisa minum sepuasnya di kamar.


Begitu tiba di Lhasa pada hari ke-21 dari bulan sembilan Tahun Tibet, perwakilan kami menghadap pemerintah untuk memastikan hari perayaan. "Tepat sekali", katanya, "Besok tanggal 22 adalah hari yang terbaik untuk upacara." Hari itu kami merayakan kembalinya Buddha Sakyamuni ke bumi. Setelah mencapai pencerahan sempurna, beliau pergi ke alam dewa dimana ibu beliau terlahir kembali, dan menetap di sana selama beberapa waktu untuk mengajar. Dewa-dewi sesungguhnya belum bebas dari siklus kehidupan [yang berulang], tetapi masih mendapatkan kebahagiaan sementara dalam samsara.


Untuk kepala biara kami, seorang yang sangat cerdas tetapi cukup santai, keputusan hari itu merupakan malapetaka. Karena merasa masih mempunyai waktu, ia belum menghafalkan kitab yang harus dilafalkan di depan Dalai Lama yang masih muda dan pejabat pemerintahan. Ia pun segera mulai menghafal dan sepanjang malam ia berusaha untuk mempelajari kitab itu. Pekerjaan yang sia-sia karena keesokan harinya kepala biara tidak dapat mengingat kitab itu sama sekali. Hampir tak bersuara dan bingung, ia berusaha mengingat kata-kata dalam kitab tersebut. Dalai Lama, yang waktu itu saya temui untuk pertama kalinya, orangnya tidak bisa diam. Dengan ribut dan nakal, ia mengolok-olok hidung kepala biara yang berukuran besar dan mencubit hidungnya sendiri dengan jari-jarinya. Yang Mulia Dalai Lama bermain-main dengan senangnya tetapi komunitas Biara Dagpo Dratsang mengalami saat-saat yang berat.


Untungnya, pemimpin doa menyelamatkan situasi. Waktu ia memasuki ruang pertemuan dan ketika kami mulai berbaris untuk melakukan prosesi, ia memasang topi kuningnya di kepala, dan mulai melantunkan pujian kepada Je Tsongkhapa dengan suara yang begitu lantang. Ini membuat semua hadirin terkejut dan seketika melupakan kegagalan si kepala biara. Kendati diancam hukuman, ia tidak ditegur oleh pemerintah sama sekali.


Yang Mulia Dalai Lama masih mengingat dengan baik suara menakjubkan dari pemimpin doa yang begitu mengesankan, yang beliau dengar ketika masih muda. Beliau sering membicarakannya dengan saya ketika beliau datang ke Perancis saat saya melayaninya.


Pada waktu saya berada di Lhasa, saya mendapat transmisi Avalokitesvara bertangan seribu dan sebelas wajah, dari guru pembimbing kedua dari Dalai Lama. Avalokitevara adalah Buddha Welas Asih yang digambarkan mempunyai banyak tangan dan mata supaya dapat menjangkau dunia dan menolong semua makhluk hidup. Dengan guru pembimbing kedua itu, saya sudah pernah bertemu tetapi baru pertama kali mendapatkan sebuah transmisi lengkap darinya. Kendati duduk di tengah banyak anak lain, beliau memanggil saya, dan menempatkan saya di sebelahnya, sebuah pertanda bahwa saya menemukan kembali guru yang berbaik hati untuk menjaga saya lagi, sejak kehidupan yang tak terhingga banyaknya. Begitu bahagia saya bisa mendapatkan transmisi itu darinya. Sesungguhnya Avalokitesvara, Buddha Welas Asih, sangat dipuja di Negeri Tibet, di Cina, di Jepang, dan banyak negara Buddhis lainnya. Namanya berarti "Tuan yang memandang ke bawah", memandang kemalangan yang ada di dunia. Orang memujinya dengan mantra yang terkenal "Om mani padme hum", yang artinya "Wahai Engkau, permata dalam teratai". Dalai Lama dianggap sebagai penjelmaan Avalokitesvara.

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
Archive
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page