top of page

BIARA DAGPO DRATSANG (bag. 1): Biara Dengan Peraturan Paling Ketat di Tibet


Disadur dari "Lama Dari Tibet" Sebuah Autobiografi Oleh Dagpo Rinpoche bersama Jean-Philippe Caudron; Desember 2008


Seperti yang telah saya tekankan, Biara Dagpo Dratsang termasyhur dengan peraturan yang paling ketat di Tibet. Prinsip dasarnya, dalam kehidupan sehari-hari para biksu harus puas hanya dengan keperluannya. Ini mencegahnya terseret ke dalam salah satu dari kedua ekstrem yaitu hidup berlebihan atau kekurangan. Para biksu tidak diperbolehkan untuk mempunyai lahan atau benda duniawi. Sebagai contoh, asrama dari guru yang bertanggung jawab atas beberapa murid, akan dinilai terlalu mewah jika menyimpan enam karung biji barley, sebab satu karung barley merupakan makanan untuk satu bulan. Tujuannya adalah "mengembangkan sedikit keinginan" dan "puas dengan yang sudah dimiliki" supaya tidak dipengaruhi oleh "delapan angin duniawi": kebahagiaan dan kesengsaraan, untung dan rugi, kemasyhuran dan nama buruk, pujian dan celaan.


Disusun sesuai petunjuk Buddha Sakyamuni dan dicantumkan dalam kitab Vinaya (kitab tentang aturan kehidupan biksu), kamar biksu bukanlah kamar yang luas atau tempat tinggal besar, walaupun untuk seorang lama. Kamar itu seharusnya hanya berisi objek sederhana seperti mebel, altar, dan rak yang terbuat dari bahan biasa yang dicat dengan warna kuning. Sebuah sarung wol biasa berwarna merah menutupi kasur berisi wol atau jerami. Tidak ada bantal berukuran besar, tidak ada penutup ranjang, tidak ada kulit atau bulu binatang.


Tungku, pengocok susu, mangkuk dan penutupnya, tempat air berukuran besar, sendok sup, panci, sendok yang terbuat dari kayu, batu, atau besi, bukan terbuat dari perak, kuningan, aluminium, perunggu, keramik, atau kaca. Di Dagpo Dratsang, semua benda yang berharga dilihat seperti "kakak dari kelinci bertanduk", yang berarti tidak ada. Tidak ada sutra atau kain sulam untuk menghiasi baju dari wol merah dan rompi dari katun bertenun. Benda-benda yang menunjukkan status kekayaan seperti itu bisa memunculkan kemelekatan.


Biksu tidak pernah mengunci pintu kamar mereka. Kepala Biara, Kepala Disiplin, atau asistennya berkeliling mengontrol dan bisa masuk secara mendadak baik siang atau malam hari. Seandainya terlihat satu benda terlarang, mereka akan memerintahkan pemusnahan atau penyitaan untuk biara. Yang bersalah harus menebusnya sesuai dengan kesalahannya yaitu membuat dan memasang gorden untuk pintu besar bhaktisala, membersihkan karpet-karpet, mengulang namaskara di depan kumpulan biksu, menghafalkan kitab-kitab... Peraturan menentukan sanksi yang akan diterapkan dan lamanya.


Intinya adalah harus selalu taat dengan peraturan. Di dalam "Sutra Ringkas tentang Kebijaksanaan" (dalam bait-bait) dinyatakan "Apa pun yang dilakukan para biksu, baik berjalan, tidur, istirahat, ia harus penuh perhatian dan waspada serta tidak diperkenankan untuk mengarahkan pandangan melebihi ukuran kuk sepanjang 1,5 meter. Dengan demikian batin akan menjadi tenang.”


Semua diatur. Sebuah Sutra menjelaskan tentang cara memakai zen yaitu kain panjang yang digunakan biksu untuk menutup badan bahwa "jubah atas harus menutup sebelah bahu". Salah satu bab dari kitab aturan biara berisi peringatan tentang "tingkah laku biksu yang tidak pantas". Contohnya "berjalan sambil mengayunkan lengan atau menggelengkan kepala, menengok ke kanan kiri, bercakap-cakap tanpa manfaat terutama ketika masuk atau keluar bhaktisala". Tingkah laku demikian bisa mengakibatkan "hilangnya keyakinan" dari para umat.


Dalam kamar kecil di udara terbuka pun, para murid tidak diperkenankan berbicara hal-hal selain ajaran. Pada waktu akan mengajukan pertanyaan kepada seorang guru, mereka menunggu di bawah serambi, di samping pintu utama bhaktisala. Dengan sikap hormat, setiap orang secara bergiliran menguraikan hal-hal sulit yang membingungkan, sedangkan yang lain mendengarkan temannya dan merenungkan masalah yang sedang diuraikan.


Pada waktu makan di dalam biara, tidak boleh terdengar suara, baik dari bibir maupun ketika menelan. Waktu minum teh, makan sup, atau tsampa, para biksu harus diam sesuai instruksi Sang Buddha. Tradisi lisan menyatakan bahwa seandainya sebiji barley jatuh dari balkon dalam bhaktisala di antara barisan biksu, suara biji yang menyentuh lantai akan terdengar oleh biksu di ujung barisan.


Para biksu di Dagpo Dratsang tidak selalu memilih jurusan yang sama. Setelah tiga tahun belajar logika dasar yang merupakan pelajaran wajib, seorang murid diperkenankan untuk memilih pelajaran kitab-kitab utama dan filsafat, sesuai keinginan dan semangat belajar mereka. Ada juga jurusan lain, yang mengutamakan pemujaan kepada Buddha Tara dan memperdalam cara melantunkan doa, dan pelajaran Lamrim yang lebih ringan. Dua ratus dari enam ratus siswa akan memilih jalur terakhir.


Yang empat ratus lainnya akan memperdalam pelajaran tentang lima topik besar yang merupakan unsur-unsur penting ajaran Sang Buddha. Lima topik besar itu adalah "logika", "kesempurnaan kebijaksanaan", sistem "Jalan Tengah", "vinaya" dan "metafisika". Setiap topik memerlukan pelajaran intensif sedikitnya selama tiga tahun. Sesudah itu, si pelajar (petchawa dalam bahasa Tibet) diterima di kelas satu dan kemudian kelas dua topik metafisika, artinya ia harus menempuh sekitar dua tahun pembelajaran lagi. Di tingkat itu, para murid sudah belajar selama 14 tahun dan masih diperlukan 10 atau 11 tahun lagi untuk mendapatkan gelar geshe (doktor filsafat Buddhis). Semuanya harus dilalui tanpa meninggalkan kegiatan intelektual dan spiritual. Kegiatan terus berlanjut selama biksu tinggal di biara. Peraturan memperbolehkan pengurangan waktu : pembelajaran untuk murid yang sakit atau tulku yang menunjukkan kapasitas berbeda. Para tulku juga masih harus menerima beberapa pembelajaran lain.


Dalam tradisi lisan dikatakan bahwa pembelajaran tentang Jalan Tengah dan Kesempurnaan Kebijaksanaan serta praktik Lamrim adalah "keahlian" Dagpo Dratsang. Seperti di biara lain, dipelajari kitab-kitab utama seperti ajaran Sang Buddha dan ulasan para cendekiawan India, karya-karya Je Tsongkhapa, dan kumpulan tulisan dari biara sendiri yang merupakan kumpulan karya terpilih yang disusun oleh guru-guru termasyhur. Karya-karya ini tidak hanya membahas atau menata kembali ajaran dari para guru terdahulu, tetapi juga berasal dari pengetahuan dan pengalaman sang penulis.


Sepanjang sembilan tahun pertama pembelajaran, para biksu muda tidur bersama dalam bhaktisala besar yang tidak pernah memakai pemanas, yang mana mereka tidur dengan posts tubuh setengah di lantai dan setengah beralaskan karpet, dan berselimutkan mantel sesuai peraturan. Hanya biksu lebih senior yang tidur di kamar.


Pada pukul 3.30 atau 4.00 pagi Kepala Disiplin atau asistennya yang juga tidur dalam bhaktisala akan membangunkan semua siswa secara lembut dengan suara gemerincing dari seikat batangan besi yang dibunyikan dengan suara yang makin lama makin keras. Ia kemudian melantunkan sebuah bait dengan nada yang begitu indah tetapi membuat merinding. Sebuah anjuran untuk bangun akan dimulai dengan kata-kata ini “Di sana tembok menyerupai pagar dari mutiara putih..” Sambil menggoyangkan seikat batangan besi dengan suara yang semakin keras, ia mengitari barisan dan memeriksa supaya tidak ada yang terlambat, dan menegur yang malas.


Setelah bangun, baik cuaca membeku atau tidak, semua harus duduk di atas batu dingin di halaman depan dari aula utama dan langsung mulai melafalkan dengan suara lantang, isi kitab yang dihafalkan pada hari-hari sebelumnya. Ini adalah kegiatan pada waktu subuh. Sesungguhnya setiap biksu harus mengulang dari awal semua yang pernah dihafalkan. Itu merupakan latihan untuk diri sendiri. Waktu ujian, ia harus mampu melafalkan bab-bab manapun tanpa melupakan satu kata pun. Kadang-kadang para biksu muda cenderung mengantuk. Ketika itu sang pengawas akan menegur, dan bisa dengan cara yang keras atau tidak. Siswa yang bersalah disuruh berdiri atau dipukul dengan tongkat atau tali. Pukulan dilakukan secara perlahan untuk kesalahan yang dilakukan pertama kali, tetapi akan lebih keras jika diulangi kembali.


Untuk kesalahan lain seperti tertidur saat pelafalan doa atau membuat keributan, ada banyak pilihan hukuman; mulai dari ber-namaskara selama berjam-jam bahkan berhari-hari, mengangkut batu, berdiri di tengah kumpulan biksu dengan menjulurkan kedua tangan yang memegang kitab tebal atau pelita minyak yang menyala, serta dicambuk sampai 200 kali bila kesalahannya sangat fatal.


Seorang biksu kenalan saya pernah dicambuk 200 kali, tetapi saya tidak dapat mengingat apa kesalahannya. Mungkin karena ia pernah berteriak ketika berada dalam pertemuan besar. Meskipun darah mengalir dari pantatnya yang telanjang karena cambukan yang keras, ia tetap bercanda setelah dihukum. Itu karena ia menerimanya. Kami masih muda dan tidak berpikir untuk mencela apa pun. Secara pribadi, selain beberapa pukulan di kepala, saya tidak pernah dihukum.


Pelafalan subuh berlangsung selama satu atau dua jam dan diakhiri dengan mandi singkat, Para biksu hanya berkumur dan membasuh wajahnya di depan pintu dapur karena tidak ada kran air. Selanjutnya, para siswa ber-namaskara di halaman bhaktisala dan melafalkan doa Tiga Puluh Lima Buddha Pengakuan yang berfungsi untuk mensucikan diri. Sementara itu para biksu senior, para murid dari kelas lebih tinggi yang belajar di kamar sejak subuh, masuk ke bhaktisala diikuti dengan yang lebih muda. Kemudian mereka bersama ber-namaskara lagi. Enam ratus biksu secara serentak melafalkan bermacam-macam doa termasuk doa perlindungan. Terakhir, saat yang paling dinikmati yaitu pensajian dua mangkuk teh setelah membacakan doa persembahan teh, sebuah doa yang disusun oleh Dalai Lama II pada abad XVI.


Teh kedua, yang bisa ditambahkan mentega, garam, atau tepung barley, disajikan setelah satu jam pembelajaran dan mengawali dua jam pelajaran debat, penghafalan, pengulangan, dan pelafalan kembali kitab-kitab. Para murid dari tiga kelas logika dasar kemudian pindah ke halaman untuk berdebat, sementara yang lain tetap di dalam bhaktisala. Sajian ketiga untuk pagi hari adalah dua mangkuk teh dan semangkuk sup kental dengan sayur, pasta, dan kadang- kadang daging. Makanan ini disajikan sambil melafalkan pujian kepada Para Buddha atau Guru.


Di luar, para biksu mengakhiri pagi yang panjang dengan pelafalan Sutra Kesempurnaan Kebijaksanaan dalam versi yang paling panjang, selama kurang lebih satu jam. Sutra ini adalah kitab utama ajaran Buddha yang menguraikan kesunyataan, salah satu kunci dari Buddhisme Mahayana, kendaraan besar. Setelah latihan debat yang berlangsung singkat, mereka masuk bhaktisala selama setengah hari untuk pelafalan Sutra Kesempurnaan Kebijaksanaan atau Sutra yang lain. Setelah dua mangkuk teh, para siswa mendapatkan 20 menit waktu bebas dan disajikan dua mangkuk teh lagi sambil membuat persembahan torma. Kegiatan dilanjutkan dengan persiapan untuk makan kemudian pujian kepada penerjemah agung Loden Sherad. Selanjutnya, saat untuk berkumpul di tcheura, halaman untuk debat dialektika. Akan tetapi, sebelum dimulai dan setelah pelafalan bersama pujian kepada Buddha Tara, kepala biara melafalkan bagian kitab yang akan dipelajari pada hari-hari berikutnya kepada setiap kelas. Untuk kelas "vinaya" atau "metafisika", bagian yang akan dipelajari tidak lebih dari beberapa baris. Kitab-kitab yang panjang dan sulit untuk murid kelas "kesempurnaan kebijaksanaan" dan “Jalan Tengah" juga dilafalkan. Kepala biara harus melafalkan semua kitab yang dibagi tanpa boleh melupakan satu kata pun. Kami semua menyadari bahwa tugas ini sangat sulit.


Selama sekitar dua jam yang intensif dan panjang, debat dialektika memberi keleluasaan total kepada para murid asalkan mereka tetap fokus pada topik yang bersangkutan. Dalam debat intelektual ini, apa saja bisa dilakukan misalnya berteriak, bertepuk tangan, berlari, menggerakan tubuh, mendorong lawannya, memotong argumen lawan, serta melontarkan argumen yang lebih mantap.


Seorang biksu menguraikan sebuah topik, yang lain menjawab, dan yang ketiga melompat dan mengungkapkan keraguannya, demikian seterusnya. Gerakan tubuh tidak diatur, kitab-kitab yang dihafalkan dengan sulit dapat mempertajam ingatan dan menghidupkan suasana debat. Para biksu harus mencari argumen yang paling tepat, yaitu argumen yang dapat memojokkan lawan bicaranya, argumen yang tak terpatahkan, yang mematikan atau membuat lawan bicaranya kewalahan. Kebanyakan biksu, dengan kepala panas dan semangat yang semakin besar mengalami saat-saat berbahagia. Mereka merasakan kecerdasan mereka meningkat dan pelajaran yang diterima perlahan-lahan mengasah penalaran menjadi sangat tajam. Walaupun biara terletak di ketinggian sekitar 4.000 meter dan pada musim dingin semua membeku, ketika para biksu berdebat satu topik yang mengasyikkan, badan dan pikiran mereka bergerak sehingga melupakan cuaca yang dingin.


bersambung...

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
Archive
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page