BIARA DAGPO DRATSANG (bag. 2): Biara Dengan Peraturan Paling Ketat di Tibet
Disadur dari "Lama Dari Tibet" Sebuah Autobiografi Oleh Dagpo Rinpoche bersama Jean-Philippe Caudron; Desember 2008
Setelah debat yang bersemangat, sesi malam dibuka dengan satu atau dua mangkuk teh, pujian kepada Buddha Tara, dan persembahan torma. Termasuk juga satu jam setengah untuk menghafal dan mendengarkan penjelasan guru yang menerima murid di kamarnya. Saat itu, para murid melafalkan kembali kitab yang dihafalkan pada hari itu. Guru juga membagi pekerjaan yang harus dilakukan keesokan harinya dengan memperhitungkan kemampuan setiap murid. Tentu ada yang bisa belajar dan menghafal satu atau dua halaman kitab dalam tempo dua jam, dan ada yang hanya bisa beberapa baris saja dalam waktu yang sama. Tipe murid yang kedua akan berkembang sesuai kemampuannya. Ini menjelaskan kehadiran para biksu yang umurnya lebih tua di kelas-kelas awal.
Ketika malam tiba, para biksu dari kelas yang lebih tinggi kembali ke kamar. Mereka mempelajari kembali kitab-kitab sebelum melakukan praktik terakhir. Biksu-biksu muda dari sembilan kelas pertama, setelah waktu "Kurim" (berbagai doa), masuk ke halaman bhaktisala untuk terakhir kali sekitar pukul 21.30 dan melafalkan kembali kitab-kitab sampai pukul 23.00. Ketika itu dan hanya setelah itulah, mereka dapat memikirkan untuk tidur. Biksu-biksu muda, dalam kelompok yang terdiri atas tiga orang, tidak berbicara dan berjalan beriringan secara perlahan mengelilingi bhaktisala dan berjalan sampai pintu utama. Ini akan menghabiskan banyak waktu karena setiap kelompok hanya berjalan ketika kelompok sebelumnya sudah sampai tujuan. Jadi, hari baru berakhir pukul 1.00 atau 1.30 pagi.
Malam berlangsung sangat singkat, hanya 3 atau 4 jam saja untuk tidur. Tidak semua biksu tidur. Boleh saja mereka melanjutkan pelafalan kitab-kitab selama satu, dua, atau tiga jam, bila mereka memberitahukan dan mendapat ijin. Yang paling bersemangat sengaja tidak tidur dan tinggal di halaman bhaktisala tanpa mengenal lelah.
Saya rasa metode seperti ini tidak ada duanya di dunia. Bagaimanapun kami mengikutinya dengan penuh semangat. Sekarang, jika saya memikirkannya kembali, saya menilainya sangat positif. Metode ini membuat kami kuat bertahan. Pada waktu berangkat menuju tempat pengungsian, Geshe la dan saya berjalan melintasi pegunungan Himalaya, kami bisa terus bertahan selama perjalanan panjang, beban yang berat, malam yang membeku, ketakutan akan tentara Cina, dan bertahan dengan mudah. Seorang teman lain begitu menderita ketika mengikuti kami, ia kehabisan tenaga, kahabisan napas, dan kakinya berdarah. la tidak pernah belajar di Dagpo Dratsang. la tidak pernah seperti kami berjalan sepanjang hari dan dengan kaki telanjang, menyeberangi sungai dengan ketinggian air setinggi pinggang untuk menuju sebuah pertapaan atau suatu tempat penyepian. la tidak pernah tahan begadang atau menjalani malam yang sangat pendek. Manusia bisa bertahan seperti itu jika menempa dirinya, melatih diri dari hari ke hari.
Di Dagpo Dratsang, setiap hari tidak selalu berlangsung seperti yang baru saja saya gambarkan, walaupun ini yang paling umum. Tahun ajaran dibagi dalam beberapa sesi, ada yang lebih menitikberatkan pada debat, ada pula yang menitikberatkan pada penghafalan. Pada yang pertama, sesi akan ditutup dengan pertemuan akbar selama tiga atau empat hari. Pertemuan ini hanya akan diisi dengan debat yang setiap harinya berlangsung selama tiga sesi. Hari terakhir dari pertemuan ini akan dimulai setelah pukul 22.00 dan berlangsung sepanjang malam.
Pada kasus kedua yang menitikberatkan pada penghafalan, kegiatan pada waktu subuh yang sudah diceritakan sebelumnya, akan dipersingkat. Setelah itu, para murid akan pergi ke guru masing-masing dan di sana diperbolehkan tidur atau beristirahat sampai fajar. Begitu fajar menyingsing - karena tidak ada listrik - para murid harus mulai menghafalkan kitab. Kemudian mereka akan membersihkan kamar guru mereka, menyalakan api, mempersiapkan teh dan mangkuk untuk persembahan yang mencakup air untuk minum atau mandi, wewangian, dupa, bunga, makanan, bunyi-bunyian, kemudian berdoa dan makan sebelum kembali menekuni kitab sampai pukul 10.00.
Dari atas bhaktisala, seorang biksu membunyikan lonceng besar. Ini adalah tanda untuk menghentikan pelajaran dan saatnya untuk memberikan penghormatan kepada rupang Buddha Sakyamuni yang ukurannya setinggi rumah tiga tingkat, atau kepada Buddha Maitreya. Ber-namaskara, melafalkan bait Trisaratia, memeditasikan batin pencerahan, mempersembahkan air, doa tujuh bagian dan dedikasi. Setelah praktik ini, para biksu kembali kepada guru mereka masing-masing. Setelah makan siang, ada waktu istirahat untuk mencuci jubah, menjahit jubah, atau membantu guru melakukan pekerjaan rumah tangga.
Dengan kegiatan yang sama seperti di pagi atau siang hari, sore hari diakhiri dengan pelafalan panjang dan instensif dari kitab-kitab, setelah semangkuk teh terakhir. Tidak ada debat pada sesi ini.
Biasanya upaya keras para murid akan diakhiri dengan ujian terpenting untuk menjadi geshe, 24 atau 25 tahun setelah memasuki biara. Untuk mendapatkan gelar yang sangat diminati ini, kandidat harus menghadapi dua ujian, pelafalan kitab yang dihafalkan dan debat.
Dalam ujian pertama, juri menilai kemampuan calon geshe untuk menghafalkan ratusan lembar kitab yang dipelajari selama di biara dan memintanya melafalkan satu bab lengkap dari setiap topik utama yang sudah disebutkan yaitu Kesempurnaan Kebijaksanaan, Jalan Tengah, Vinaya, Metafisika, dan Logika. Untuk debat, ujian kedua, juri akan memeriksa apakah makna kitab-kitab yang dihafalkan sudahi benar-benar dipahami oleh si kandidat.
Ujian diadakan dalam suasana resmi di ruang kepala biara yang juga menjadi anggota juri di bulan sepuluh Tahun Tibet. Geshe dengan pengetahuan yang paling tinggi dan para senior dalam Sanggha ikut sebagai juri dan membantu kepala biara. Mereka bertiga menyimak pelafalan yang dilakukan si kandidat sambil mencermati kitab-kitab milik mereka sendiri. Seandainya si kandidat ragu-ragu atau kehilangan kata-kata, kepala biara akan memberitahukan kata berikutnya. Seandainya setelah tiga kali diberitahukan dan si kandidat masih berhenti pada kata yang sama atau tidak dapat meneruskan pelafalan kitab, ia, sesuai dengan aturan, dinyatakan gagal dan seketika dikeluarkan dari komunitas biara, la tidak dapat meneruskan ujian atau memperbaikinya, ia harus langsung keluar dari lingkungan biara tanpa melewati kamarnya.
Ujian merupakan sebuah cobaan penuh risiko. Karena itulah para kandidat melatih diri dengan sangat keras bertahun-tahun sebelum menempuh ujian. Oleh karena itu pula, kandidat dibawah bimbingan guru yang menjaganya bagaikan menjaga anak sendiri, akan memaksanya untuk melafalkan kembali kitab berkali-kali sepanjang malam.
Setelah ujian pelafalan berhasil, calon geshe mempersiapkan diri untuk berdebat mengenai lima topik utama yang dipelajari dalam kelas masing-masing.
Untuk membantu mengulang kitab semaksimal mungkin, murid dibebaskan dari pertemuan dan debat harian serta dibebaskan pula dari pelafalan doa waktu sajian teh. Bagian mereka diantarkan ke kamarnya.
Singkatnya, semua diupayakan untuk membantu mereka dan memperbesar kemungkinan untuk berhasil. Kadang, mereka tidak diizinkan keluar dari biara selama setahun, untuk melatih diri. Mereka dipanggil petsampas yang berarti "retret kitab".
Tetapi mereka tidak dipaksa tinggal dalam kamar. Ketika murid yang lebih muda berdebat di lapangan, mereka bisa datang dan memberi dukungan. Apa pun topiknya, mereka biasanya tidak sabar untuk mengungkapkan segala argumen yang ada di kepala mereka, Petsampas juga membantu guru logika mengajar penalaran dan teknik debat dialektika kepada muridnya. Akhirnya, mereka berlatih sambil menjawab serangan yang disampaikan dengan kalimat yang efektif oleh murid kelas metafisika pada akhir sesi pelajaran.
Ujian terakhir, debat, berlangsung selama dua kali dua hari. Pertama, pada musim dingin setelah ujian pelafalan kitab, kemudian pada bulan kelima tahun Tibet, pada tahun berikutnya. Di hadapan enam ratus biksu yang berkumpul di bhaktisala, dalam pertemuan yang dipimpin Kepala Biara, kandidat menghadapi sendiri murid-murid dari tiga kelas "vinaya" dan dari tiga kelas "metafisika” dengan topik pilihannya. Kemudian untuk topik Tantra, ia harus menghadapi satu kelas karapjampas, nama yang diberikan kepada geshe dari Dagpo Dratsang.
Siapapun lawannya, kadang ada lama yang ucapannya begitu tajam, dan si kandidat harus bertanya tanpa ragu dan bertele-tele. Ujian yang luar biasa ini kadang menakutkan kandidat calon geshe yang kurang menyukai debat. Diantara mereka ada yang menceritakannya sedemikian mengerikan sehingga empat hari terasa seperti empat tahun.
Setelah berhasil dalam ujian, sang geshe baru pergi ke perguruan filsafat di Lhokha, di selatan Tibet, untuk berbagi pengetahuan mereka tentang lima topik utama yang sudah begitu serius dipelajari, direnungkan, dan diperdebatkan. Sebagai tanda terima kasih [kepada biara], sang geshe akan membagi pelajaran Buddhisme yang berharga menurut tradisi khusus di Dagpo Dratsang kepada yang lain. Pada bulan delapan dari tahun Tibet, mereka kembali ke biara dan mempersembahkan dua mangkuk teh dan satu mangkuk dretsa, yaitu nasi dengan mentega dan kismis. Kali ini mereka betul-betul sudah menjadi geshe. Bahkan orang-orang mengatakan bahwa mereka bisa melafalkan semua kitab-kitab penting yang telah dihafalkan, walaupun ketika dikejar anjing!