top of page

Yang Mulia Dalai Lama II (bag. 3): Meninggalkan Tashi Lunpo dan Memasuki Biara Drepung Loseling

Sementara itu, kembali ke Tashi Lhunpo, sebuah badai sedang terjadi, dan babaknya sedang direncanakan untuk mengeluarkannya dari biara. Yangpa Chojey dalam Biografi memberikan tiga penjelasan yang sangat berbeda - luar, dalam, dan rahasia - tentang bagaimana dan mengapa hal ini terjadi.


Interpretasi luar mengatakan secara singkat bahwa para manajer di kantor kepala biara menjadi cemburu akan penghormatan yang semakin tinggi yang ditujukan kepada Gendun Gyatso. Mereka takut bahwa guru muda yang baru kembali akan segera menggantikan kepala biara sebagai kepala Tashi Lhunpo, yang akan memiliki efek menurunkan status mereka dan melepaskan sebagian dari hak istimewa mereka.


Penafsiran dalam menyatakan bahwa Biara Nenying terletak di sekitar roh gyalpo yang jahat (Roh penguasa lokal), dan Gendun Gyatso entah bagaimana memanggil murka roh itu, sehingga menimbulkan penghalang bagi dirinya sendiri. Peristiwa yang terjadi adalah hasilnya.


Penafsiran rahasia menyatakan bahwa keseluruhan rangkaian kejadian adalah sebuah drama mistis yang secara sadar diundangkan oleh kepala biara, Panchen Yeshey Tsemo, untuk mendorong Dalai Lama muda keluar dari kehidupannya yang nyaman di Tashi Lhunpo dan membantunya memenuhi takdir yang lebih besar. Seperti Yangpa Chojey jelaskan:


Kita dapat melihat peristiwa-peristiwa ini telah dihasilkan oleh kecemburuan dari administrator tertentu di kantor kepala biara, mungkin dengan energi negatif ini yang telah terangsang oleh kutukan roh gyalpo Nenying. Tapi ini bukan kisah sebenarnya. Sebenarnya kejadian ini adalah bagian dari drama mistis. Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa reinkarnasi muda memiliki takdir yang besar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Tibet tengah dan timur, dan bahwa dia tidak dapat melakukannya dengan tetap tinggal di Tashi Lhunpo.


Panchen Yeshey Tsemo memahami hal ini, dan dengan demikian menunjukkan wajah murka terhadap Guru kita untuk mendorongnya menuju pemenuhan takdir itu. Ini secara jelas ditunjukkan oleh sesuatu yang guru saya, Jetsun Chokyi Gyaltsen, katakan kepada saya. Beliau mengatakan bahwa ketika Panchen tinggal di Biara Nenying beberapa bulan sebelum semua kejadian ini terjadi, beliau memberi tahu beberapa tetua di sana, "Saya telah melihat dengan jelas penglihatan mimpi bahwa anak itu tanpa keraguan adalah reinkarnasi dari guru kami Jey Tamchey Khyenpa , Yang Berharga Gendun Drubpa. Tak lama kemudian beliau harus pergi ke Tibet tengah agar beliau bisa menyelesaikan pekerjaan yang lebih tinggi yang direncanakan untuk beliau."


Jadi jelas bahwa guru besar bekerja secara misterius untuk kepentingan makhluk hidup dan tingkat yang tidak dapat dipahami oleh kecerdasan konvensional.


Apapun motif dan persepsi masyarakat yang terbentuk, Gendun Gyatso tiba di Tashi Lhunpo untuk berhadapan dengan suasana yang tegang. Administrator monastik menghalangi beliau sebisa mereka. Belliau berusaha mengabaikan situasi dan melanjutkan studinya seperti biasa namun tidak berhasil. Secara kebetulan, seperti semua ini terjadi, sebuah surat datang dari orang terkenal Jamyang Lekpai Chojor, Kepala Biara Drepung Loseling dekat Lhasa, meminta Gendun Gyatso datang ke Tibet tengah. Sebenarnya undangan itu diselaraskan dengan ambisinya sendiri. Untuk beberapa waktu beliau menyimpan keinginan untuk pergi ke universitas monastik besar di Tibet tengah untuk menyelesaikan pendidikannya.


Setelah menunggu waktu sekian lama tanpa perbaikan dalam situasinya, beliau pergi ke kepala biara dan mempersembahkan sujud perpisahan.


* * * *


Jadi pada bulan kedua Tahun Macan (1494), Dalai Lama Kedua meninggalkan Tashi Lhunpo menuju Tibet tengah.


Malam itu di Lhasa, Guru Jamyang Lekpai Chojor dari Biara Drepung Loseling memimpikan bahwa bola matahari muncul dari barat, memenuhi kamarnya, dan dari sana membanjiri seluruh Negeri Salju sampai semua kegelapan lenyap. Keesokan harinya beliau berkata, "Murid terbesar saya akan segera mendatangi saya."


Tak lama kemudian, Dalai Lama Kedua tiba di Lhasa dan menghadirkan diri di depan Jamyang Lekpai Chojor dengan permintaan agar diterima sebagai murid. Dari Jamyang Lekpai Chojor, beliau menerima inisiasi dalam dua sistem tantra yoga umum utama tertinggi - Guhyasamaja dan Heruka Chakrasamvara - bersama dengan semua komentar tantra baku India dan Tibet terhadap filosofi dan yoga dari tradisi tersebut. Selain itu, di bawah guru termasyhur ini, beliau mengulas komentar utama terhadap sistem tantra Kalachakra, dan juga yang ada di Enam Yoga Naropa.


Dalam tiga tahun di Drepung beliau telah menyelesaikan studi yang perlu ditempuh seorang biarawan biasa dari biara tersebut hampir dua puluh tahun. Sementara di sini beliau juga ikut pentahbisan bikkshu penuh. Terjadi pada Tahun Kelinci Kayu (1495) ketika umurnya dua puluh tahun.


Pembelajarannya sekarang sudah cukup banyak, dan beliau mengalihkan pikirannya untuk melakukan ziarah ke tempat-tempat suci utama di Tibet tengah untuk mempraktikkan meditasi. Beliau dan gurunya Jamyang Lekpai Chojor memutuskan untuk pertama kali berziarah ke Biara Reteng. Malam sebelum kedatangan mereka, Guru di Reteng, Pakpa Kunga Gyaltsen, mengalami penglihatan mimpi di mana seorang gadis muda menampakkan diri kepadanya dan berkata, "Besok Lama Drom Tonpa sendiri akan berkunjung." Ini adalah referensi untuk silsilah Dalai Lama sebagai reinkarnasi kelanjutan dari Lama Drom Tonpa, pendiri Biara Reteng di abad ke-11.


Guru meletakkan dua ratus tangkai bunga di dalam vas dan membuat doa, "Jika ini benar-benar reinkarnasi dari Lama Drom Tonpa, semoga bunga-bunga ini mekar selama masa ziarahnya di sini." Keesokan harinya Gendun Gyatso tiba. Pertama, beliau memberi penghormatan di kuil utama dan kemudian memberi pengajaran singkat kepada para biarawan dan orang-orang di daerah tersebut. Bunga-bunga mulai mekar saat beliau berbicara, dan pada akhir ceramahnya semua telah mekar sepenuhnya. Bunga-bunga tetap mekar selama beliau tinggal di Reteng.


Sementara seorang bhikkhu yang telah menjadi murid dekat Dalai Lama Pertama, Panchen Choklha Odzer, sedang mengajar di Riwo Dechen. Beliau mengalami banyak mimpi keberuntungan, dan menafsirkannya bahwa beliau harus melayani Dalai Lama Kedua. Untuk itu, beliau mengirim seorang utusan ke guru besar dari Dalai Lama kedua, Jamyang Lekpai Chojor, dengan permintaan untuk mengizinkannya mengadakan tur ziarah, meditasi dan pengajaran untuk reinkarnasi muda tersebut. Jamyang Lekpai Chojor sangat senang, dan langsung memberkati beliau. Raja Chonggyey menawarkan untuk menyokong ziarah tersebut. Raja ini tetap menjadi salah satu murid dan penyokong Gendun Gyatso yang paling setia sejak saat itu.


Tur ziarah dan pengajaran pertama ini dimulai dengan kunjungan ke Kuil Jokhang di Lhasa, di mana beliau memimpin sebuah upacara ritual dan doa besar, dengan Raja Ngawang Namgyal dari Neudzong bertindak sebagai penyokong utama. Gendun Gyatso kemudian berangkat ke Lembah Yarlung, tempat peradaban awal Tibet. Dalam perjalanan beliau berhenti dan mengajar di berbagai biara dan pertapaan, termasuk Samyey, biara pertama Tibet. Nenek moyangnya telah membantu membangun situs suci ini sekitar delapan ratus tahun yang lalu.


Beliau kemudian melanjutkan ke Biara Tsetang, di mana beliau bertemu dengan beberapa murid Dalai Lama sebelumnya, dan kemudian ke Biara Riwo Dechen, tempat Panchen Choklha Odzer bertemu dengannya untuk pertama kalinya.


Biografi menyebutkan tentang betapa terkesannya Panchen dengan reinkarnasi gurunya dan menyatakan dengan fasih atas kesan yang dibuat Gendun Gyatso:


(Guru) duduk bersila, dengan kaki kanannya sedikit melebar, sama seperti Jey Tamchey Khyenpa (yaitu Dalai Lama Pertama) setiap kali beliau mengajar. Jubahnya mengalir mengelilingi tubuhnya seperti awan di sekitar gunung kristal.


Beliau mengajar kepada ratusan pendengar, tubuhnya berseri seperti bulan purnama di tengah langit berbintang. Meski masih sangat muda, beliau tak kenal takut dihadapan banyak orang bijak yang telah berkumpul untuk mendengarkannya, seperti seekor singa di tengah hewan yang lebih rendah hati. Kehadirannya memancarkan kekuatan dan ketenangan, seperti Gunung Meru di pusat alam semesta. Senyumnya lembut dan berseri-seri, segera melucuti orang-orang yang duduk di hadapannya dan menyingkirkan keraguan yang mungkin mereka miliki.


Dan suaranya! Suara Agung! Suaranya kuat, kaya dan bersemangat, kesenangan mutlak untuk indera pendengar dan terdengar dengan jelas ke semua orang di ruangan itu, baik dekat maupun jauh. Beliau menggunakannya seperti alat musik surgawi saat beliau berbicara, menyebabkan rambut tubuh setiap orang gemetar karena sukacita dan meresapi.


Selama dua puluh tahun ke depan, Gendun Gyatso berulang kali mengunjungi semua tempat suci penting di tengah, selatan dan barat daya Tibet, berlatih meditasi dan mengajar ke pertemuan yang semakin besar. Raja-raja, ratu, kepala suku, para tetua dan yogi dengan penuh semangat bergegas, saling berlomba untuk mengundang reinkarnasi muda mengajar di daerah mereka. Setiap biara, kuil suci dan pertapaan menginginkan restu dan prestise setelah menerimanya.


Energinya tampak tak terbatas. Permintaan demi permintaan dipenuhi, yang semuanya beliau terima dan hargai dengan kerendahan hati dan dedikasi yang sama.



bersambung..

Disadur dari "The fourteen Dalai Lamas a sacred legacy of reincarnation" Disusun oleh Glenn H. Mullin; 2001

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
Archive
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page