top of page

AGASTYA JATAKA (bag. 1) : Kelahirannya Sebagai Rsi Agastya

Suatu ketika saat Sang Buddha masih sebagai Bodhisattva mengembara di dalam samsara demi kebajikan dunia, ia lahir sebagai seorang anak dalam sebuah keluarga brahmana mulia yang kemurnian silanya menjadi perhiasan bagi bumi. Seperti bulan purnama di musim kemarau yang tanpa awan memperindah alam surga, demikian pula halnya dengan kelahiran Agastya, menambah kecemerlangan keluarganya. Sesaat setelah ia mendapatkan diksa pemberian nama sesuai kitab suci serta tradisi, setelah ia mempelajari Veda berikut berbagai ritualnya, ketenaran pengetahuannya tersebar luas dan jauh.


Persembahan yang diterimanya dari mereka yang senang memberi dengan segera berlipat ganda hingga menjadi harta kekayaan. Juga sebaliknya, laksana awan tebal yang mengguyur daratan, ia membagi-bagikan harta kepada sanak keluarga dan para sahabatnya, Para pengemis, tamu, serta para guru, orang yang tertimpa kesulitan dan yang pantas untuk dihormati. Begitu pengetahuannya yang agung, ditambah dengan kedermawanannya, memancarkan segala keagungannya, bagai keindahan bulan yang terjadi di musim gugur.


Setelah Mahasattva menyadari bahwa kehidupan rumah tangga adalah sumber penderitaan dan hanya memberi sedikit kesenangan. Seorang perumah tangga harus membuat dirinya mengerjakan berbagai kegiatan yang membawa pada ketidakpuasan dan bahkan kesulitan yang lebih besar lagi. Kesulitan mengelilingi dalam usaha untuk mendapatkan keberuntungan dan segala hal untuk menjaganya; tertusuk oleh beratus-ratus panah penderitaan, seorang perumah tangga secara perlahan-lahan akan tidak memedulikan urusan Dharma, hingga ketenangannya menjadi kacau.


Setelah merasa lelah terhadap segala sesuatu yang melingkupi kehidupan rumah tangga, Agastya mengetahui bahwa meninggalkan keduniawian akan dapat membawanya pada kebebasan dari situasi buruk tersebut dan akan memberikan kebahagiaan yang sesungguhnya. Pelepasan hidup duniawi sangat perlu bagi kepentingan spiritual, jalan benar satu-satunya bagi pengembangan batin dan pembebasan. Karenanya, meskipun kekayaan telah membuatnya begitu terhormat, ia membuangnya seperti jerami, dan menerapkan pada dirinya sikap berpaling serta aturan-aturan penolakan duniawi sebagai seorang pertapa.


Bahkan meskipun setelah meninggalkan kehidupan duniawinya, banyak orang yang tetap meminta nasihat darinya; baik bagi mereka yang telah mendengar tentangnya, maupun mereka yang ingat padanya sejak dulu, semuanya mengunjunginya disebabkan oleh penghormatan mereka pada kebajikan serta ketenangannya. Ia mendapati bahwa hubungan dengan masyarakat seperti ini mengganggu serta menjadi rintangan bagi sikap ketidakterikatan yang dicita-citakannya. Sehingga dengan bermaksud hendak menyepi, Agastya pindah ke pulau Kara di daerah Laut Selatan.


Agastya mendirikan pertapaannya di Kara, sebuah pulau yang dikelilingi oleh buih gelombang putih kebiruan bagaikan permata indranila. Pantainya tertutup oleh pasir putih; pulau tersebut dihiasi oleh pepohonan yang sarat dengan bunga serta buah, di situ juga terdapat telaga yang airnya sangat menyegarkan di dekat tempatnya berdiam. Di pertapaannya ia menjalankan praktik bertapa dan memperlihatkan kemuliaannya melalui tubuhnya yang kurus, ia bagaikan bulan sabit di angkasa, yang mengundang perasaan senang meskipun ukurannya kecil.


Melihat keseimbangan batinnya juga tingkah lakunya yang santun, bahkan binatang liar serta burung di hutan sekalipun menghargai manusia ini, yang larut dalam ikrar serta praktiknya sebagai seorang Muni. Atas kehendak mereka sendiri, binatang-binatang tersebut berusaha untuk menirukan tata cara hidupnya.


Selagi berdiam dalam hutan pertapaan tersebut, Mahasattva terus menyambut siapa pun tamu yang secara kebetulan melewati jalannya. Ia akan memberi mereka umbi-umbian serta buah-buahan yang dikumpulkannya dari hutan, air segar dan tegur sapa yang ramah dan juga berkah; ia sendiri kemudian hanya akan menggunakan makanan apa pun yang tersisa, membatasi makannya hanya untuk mempertahankan tubuhnya.


Keagungan keluhuran pertapaannya tersebar ke segala penjuru, bahkan juga sampai ke telinga Sakra, Raja Para Dewa, yang dalam kegembiraannya mendengar kebajikan yang demikian, terbersit niat untuk turut mendorong keteguhan tapanya. Untuk itu, ia lalu membuat seluruh umbi-umbian serta buah-buahan lenyap dari seluruh kawasan hutan. Namun demikian Bodhisattva, seolah tenggelam dalam meditasinya, sama sekali tak terganggu oleh rasa laparnya; ia telah terbiasa cukup dengan sesuatu yang sedikit, tiada beda antara tubuh dengan makanannya. Ia lalu tak peduli lagi. Merebus sedikit dedaunan dalam air, ia telah memuaskan kebutuhan tubuh jasmaninya tanpa sedikit pun merasa tidak puas, tetap tenang seperti sebelumnya, ia hidup dalam kesederhanaan. Sesungguhnya, mereka yang memiliki sedikit keperluan dengan mudah mendapatkan kebutuhannya. Di manakah rerumputan, daun-daunan dan telaga tak dapat ditemukan?


Sakra, Raja Para Dewa, sangat takjub atas sikap Bodhisattva, rasa hormat kepadanya semakin besar. Namun demikian ia tetap bermaksud untuk mengujinya dengan cara yang lain. Bagaikan hembusan angin di musim kemarau, Sakra telah menyebabkan semua daun terlepas dari tangkainya, semak serta ilalang hilang dari hutan. Akan tetapi Agastya hanya memunguti daun yang masih segar yang jatuh ke tanah, merebusnya, dan tetap dapat bertahan hidup dengan sedikit sayuran tanpa sedikitpun merasa kecewa. Menikmati kebahagiaan meditasi, bahkan ia telah menikmati amertha. Karena sesungguhnya, pengendalian dan pengetahuan, tiadanya keterikatan terhadap harta benda serta merasa puas dengan kehidupan tapa, adalah merupakan hartanya yang terbesar.


Kini kehebatan Bodhisattva terus menantang Sakra, yang hampir saja marah, untuk maju selangkah lagi. Dengan menyamar sebagai seorang brahmana yang kelaparan serta kehausan, Sakra muncul di hadapan Agastya pada waktu yang sangat menguntungkan bagi seorang tamu, waktu saat doa serta persembahan sedang dipanjatkan sesaat sebelum waktu makan. Bodhisattva, wajahnya menunjukkan perasaan gembira, dengan senang hati menyambut tamunya. Mengucapkan kata-kata selamat datang, lalu ia mengajaknya turut makan. Dengan ucapan yang jelas serta menyentuh baik pikiran maupun perasaan, Agastya memberikan kepada tamunya semua rebusan daun yang telah dikumpulkannya dengan begitu sulit; sedangkan dirinya sendiri sudah merasa puas hanya dengan menikmati perasaan gembiranya. Setelah itu, meninggalkan tamunya, ia beristirahat di pondok meditasinya, dan melewatkan siang malam dengan merasakan perasaan gembira yang tiada hentinya.


Dengan cara yang sama, Sakra muncul kembali pada saat yang sama keesokan harinya, demikian pula hari-hari berikutnya. Setiap hari Agastya menerima tamunya tetap dengan sikap gembira; tiada sedih, bahkan juga tiada membahayakan hidupnya sendiri, yang dapat mendorong orang baik meninggalkan kecintaannya dalam memberi, yang diteguhkan dengan praktik belas kasihnya yang dalam.



bersambung..

Disadur dari "Jatakamala : Untaian Kelahiran (Bodhisattva)" Disusun oleh Acharya Aryasura; diterbitkan oleh Bhumisambhara; 2005

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
Archive
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page