top of page

AGASTYA JATAKA (bag. 2) : Kelahirannya Sebagai Rsi Agastya

Sakra diliputi oleh perasaan sangat takjub, mengetahui bahwa demikian teguhnya praktik pertapaan Bodhisattva hingga dengan mudah dapat mendapatkan kedudukan Sakra berkuasa di alam surga yang berkilauan: Apa yang sesungguhnya perlu ia lakukan adalah bertanya. Khawatir dan takut, Sakra menanggalkan penyamarannya sebagai manusia, kembali ke dalam wujud surgawinya yang memukau. Muncul di hadapan Mahasattva, lalu bertanya kepadanya:


“Apakah yang ingin kaudapatkan dengan meninggalkan keluarga yang Engkau cintai, rakyat serta hartamu, yang kesemuanya telah memberimu kebahagiaan besar? Tentu bukanlah tujuan biasa yang membuat orang bijaksana meninggalkan kebahagiaan serta kekayaannya, membiarkan keluarganya dalam kedukaan dengan meninggalkannya untuk menjalani kehidupan pertapa yang berat. Kami mohon, jika engkau berkenan, hapuskan rasa ingin tahu kami dan mohon ungkapkanlah kemuliaan seperti apa yang Engkau usahakan dengan begitu gigihnya.”


Bodhisattva menjawab: “Dengarlah, Pak, apa yang kuperjuangkan. Mengulang-ulang kelahiran membawa pada berulangnya penderitaan, sebagaimana ketakutan pada wabah usia tua serta penyakit; kepastian datangnya kematian begitu mengganggu pikiran. Aku menempuh hidup seperti ini agar aku dapat menjadi pelindung bagi semua makhluk hidup!”


Sakra, Raja Para Dewa, akhirnya paham bahwa istana surgawinya aman dari tujuan Bodhisattva, ia menjadi begitu terhibur. “Bagus sekali!” ujarnya, merasa senang atas penjelasan yang menjadi tujuan Bodhisattva. “Pertapa, atas pembicaraan yang baik ini aku akan memberikan apa pun yang Engkau inginkan. Mintalah apa yang kauinginkan.”


Bodhisattva tak menginginkan apa pun yang berhubungan dengan kesenangan duniawi, ia berkata kepada Sakra: “Jika Engkau akan memberikan kepadaku apa yang membuatku senang, berikan aku ini: 'Semoga api ketidakpuasan yang membakar hati manusia di dunia berakhir, meski setelah mereka mendapatkan suami istri, anak, kedudukan dan harta yang melampaui impian mereka yang tiada batas, semoga api yang tak kunjung habis dan membakar segala sesuatu itu tak memasuki hatiku!”


Sikap puas diri sepenuhnya yang tergambar dari harapan tersebut menyenangkan Sakra. Memuji Bodhisattva, ia mendesaknya untuk mengutarakan keinginannya yang kedua. Agastya, dengan maksud untuk mengungkapkan betapa sulitnya mengatasi noda nafsu secara menyeluruh, sekali lagi mengajarkan ajaran yang diminta oleh tamunya:


“Keberadaanmu memang sungguh agung, wahai Raja Para Dewa, seandainya Engkau dapat memberiku pemberian besar seperti ini: semoga kebencian, yang bagaikan bala tentara penakluk, menghancurkan harta, kedudukan dan nama baik, senantiasa berada jauh dariku!”


Mendengar jawaban yang demikian, Sakra merasa semakin senang. “Pantaslah tenar, bagai seorang kekasih yang dapat dipercaya, hendak mengikuti mereka yang telah berpaling dari keduniawian. Atas keinginan yang disampaikan demikian tepatnya, silahkan terimalah pemberian yang lain dariku.”


Demikianlah Bodhisattva, atas diterimanya permintaannya oleh tamunya, disebabkan oleh ketidaksenangannya terhadap noda keinginan dan bersama dengan orang yang terpengaruh oleh indriawi, ia berkata: “Semoga aku tak pernah mendengar kebodohan, melihat yang bodoh, berbicara kepada yang bodoh, atau menanggung rasa jengkel serta derita dari mereka yang diliputi kebodohan! Demikianlah yang kuminta.”


“Apa itu?” teriak Sakra. “Siapa pun yang dalam kesulitan pasti mengharapkan bantuan dari orang baik. Dan ketidaktahuan merupakan akar segala penderitaan. Bagaimana bisa dirimu, sebagai seorang pertapa yang sangat berbelas kasih, merasa tidak senang melihat orang yang bodoh, orang yang sangat membutuhkan belas kasih?”


Bodhisattva menjawab: “Karena, wahai kawan, tak akan ada pertolongan bagi orang yang bodoh. Ketahuilah, jika orang bodoh dapat ditolong, akankah aku memegangi apa pun yang dapat memberi mereka manfaat? Sebaliknya, orang yang bodoh tak akan memperoleh apa pun atas pertolonganku. Terbakar oleh api kesombongan, menganggap dirinya bijak, menjalankan kelakuan salah seolah-olah benar, mereka menganjurkan para tetangganya untuk juga melakukannya. Tak biasa berkelakuan baik dan kurangnya menjalankan kesusilaan, mereka marah meskipun ketika dirinya mujur, dan terpengaruh oleh apa pun yang sangat diinginkannya. Adakah orang di dunia ini yang dapat menolong orang bodoh seperti itu? Karenanya, Oh dewa yang sangat terpuji, aku memohon semoga tak akan pernah sama sekali meski hanya sekadar melihat, orang yang bodoh! Karena tak ada pertolongan bagi orang bodoh, mereka benar-benar bukanlah tujuan usahaku.”


Sakra kembali memuji sang pertapa dengan berkata: “Kata-katamu yang tiada ternilai bagaikan permata, tak ada imbalan yang setimpal. Tapi mohon terimalah pemberian yang lain, seolah seraup bunga, yaitu persembahan dari rasa hormat.”


Bodhisattva menjawab dalam kalimat yang dimaksudkan untuk mengungkapkan kebahagiaan yang berasal dari kebajikan: “Semoga aku memperoleh keadilan, hanya mendengar para bijaksana, dan hanya hidup bersama dengan mereka yang waspada. Oh Sakra, semoga aku melewatkan hari-hariku dengan bahagia, berbicara dengan benar! Semoga Engkau memberikan hal ini!”


“Engkau tampak sebagai memihak para bijaksana!” sahut Sakra. “Katakan kepadaku, apa yang telah dilakukan mereka kepadamu? Mengapa Engkau menunjukkan keinginan sedemikian rupa untuk melihat para bijaksana?”


Bodhisattva dengan kehendak menunjukkan kepada Sakra bagaimana berharganya kebajikan, menjawab: “Dengarlah, sahabat, yang menjadi alasanku ingin melihat orang bijaksana. Orang bijaksana berjalan dijalan kebajikan, dan memberi teladan bagi yang lain untuk mengikutinya. Kata-kata yang diucapkan terhadap kebajikannya, meskipun keras, tak akan membuatnya tak sabar, karena mereka dihiasi oleh disiplin diri, keramahan dan kemantapan. Orang akan mendapatkan kebajikan dari orang seperti itu. Karena itulah aku merasa gemetar terhadap mereka yang bijaksana.”


“Benar sekali!” ujar Sakra. “Sejak saat ini engkau pasti akan mendapatkan segala yang kau inginkan, seluruhnya memuaskan seperti yang telah ada padamu. Namun demikian silahkan terimalah satu lagi pemberian, sekadar untuk membuatku bahagia. Hadiah yang dipersembahkan karena rasa hormat, dari kekuatan yang tanpa batas, dan juga harapan untuk dapat membawa kebajikan, menjadi sebuah sumber kesedihan besar bila tidak diterima.”


Mengamati keinginan kuat Sakra, dengan maksud untuk menolong dan menyenangkannya, dengan harapan menunjukkan kepadanya kebajikan dari pemberian, Bodhisattva kemudian menjawab: “Makananmu senantiasa bebas dari kekurangan serta kerusakan,pikiranmu diperindah oleh praktik kemurahan hati, dan para pengiringmu berhiaskan dengan kemurnian sila, semoga Engkau memberiku semua itu!”


“engkaulah tambang permata kebijaksanaan,” ujar Sakra. “Bukan saja segala yang kauinginkan akan diberikan, akan tetapi karena jawabanmu merupakan ungkapan yang begitu indah, aku akan memberimu satu lagi permintaan.”


“Jika Engkau dengan begitu baik akan memberiku hadiah besar, Oh dewa yang maha mulia,” jawab Bodhisattva, “berilah aku hal ini, Oh penakluk para asura: jangan lagi mendatangiku dengan kemegahanmu!”


Sangat terperanjat, serta tertegun beberapa saat, Sakra menjawab: “Jangan berkata seperti itu, Pak. Dengan berbagai cara pemujaan, berbagai macam doa, dan juga pantangan, pengorbanan serta penebusan dosa, orang-orang di seluruh dunia berusaha untuk melihatku. Sedang engkau tak menginginkannya! Bagaimana bisa begini? Aku datang hanya untuk mengabulkan segala permintaanmu!”


“Jangan menghardikku, wahai raja para dewa,” ujar Agastya. “Yang kuinginkan hanya membuatmu senang. Bukan karena kurang tata krama hingga aku meminta yang demikian, bukan pula karena kurangnya penghargaan ataupun rasa hormatku kepada Yang Mulia. Tapi karena penampilanmu yang luar biasa, dengan prabha yang menyilaukan, yang bahkan memancar dengan sangat terang, aku khawatir mengingat keajaiban seperti itu akan membuatku tergelincir dari menjalankan tugas Dharma.”


Sakra bersujud pada Bodhisattva, berpradaksina kepadanya dari kiri ke kanan, lalu menghilang. Ketika hari telah menyingsing Agastya mendapatkan makanan serta minuman surgawi yang diantarkan kepadanya oleh Sakra, yang mengundang beratus-ratus Pratyekabuddha, serta beribu-ribu dewaputra.


Semuanya dilihat oleh Bodhisattva. Tiada terbilang persembahan yang dipersembahkan, Sang Muni mendapatkan kebahagiaan yang sedemikian besarnya. Ia terus bergembira menjalani hidup yang sesuai bagi seorang pertapa dan berdiam dalam meditasi, serta dengan batin yang sangat seimbang.


Dari kisah ini, orang dapat melihat bagaimana keberanian praktik berdana menjadi perhiasan bahkan bagi seorang pertapa, yang juga sangat diperlukan bagi yang berumah tangga. Itu juga menunjukkan mengapa manusia harus menghiasi dirinya dengan keberanian dan pemberian secara terus-menerus. Kisah ini dapat diceritakan pada saat mencela kehendak jahat, kebencian, kegilaan dan kebodohan; ketika mengajarkan kebajikan Guru, atau mengajarkan tentang kepuasan. Kisah ini juga sesuai pada waktu membicarakan keagungan Sang Tathagata, dan membicarakan keindahan ajaran yang diberikan oleh Sang Bhagavan dalam kehidupan masa lampaunya, di mana beliau bahkan kemudian, menjadi sebuah tambang permata ungkapan-ungkapan yang berharga yang tak pernah habis, apalagi setelah Sang Buddha mencapai kesempurnaan.


Disadur dari "Jatakamala : Untaian Kelahiran (Bodhisattva)" Disusun oleh Acharya Aryasura; diterbitkan oleh Bhumisambhara; 2005

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
Archive
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page