top of page

Y.M.S. Dalai Lama III Sonam Gyatso (1543-1588): Menapaki Kehidupan Monastik


Ketika Kelahiran kembali dari Yang Maha Suci (Y.M.S.) Dalai Lama Ketiga telah berusia empat tahun— saat itu adalah Tahun Kuda Api, atau 1546, saat sebuah delegasi resmi yang dipimpin oleh Sunrabpa tiba dari Drepung untuk membawanya ke Ganden Podrang, kediaman yang telah dibangun di sana oleh Y.M.S. Dalai Lama Kedua.


Murid utama Y.M.S. Dalai Lama Kedua, Panchen Sonam Drakpa, telah menjadi kepala biara Drepung pada tahun yang sama ketika sang guru lahir, dan diputuskan bahwa penobatan resmi anak sebagai kelahiran kembali Y.M.S. Dalai Lama Kedua harus dilakukan olehnya, seperti seharusnya pentahbisan awal monastik. Pada upacara penahbisan, Panchen Sonam Drakpa memberinya nama Sonam Gyatso Palzangpo Tenpai Nyima Chokley Namgyal, atau “Samudra Kemenangan Yang Jaya, Matahari Ajaran Yang Jaya Ke Segala Penjuru.” Beliau dikenal dengan dua kata pertama, atau Sonam Gyatso.


Ini nama yang menimbulkan banyak kontroversi. Y.M.S. Dalai Lama Pertama telah dikenal sebagai Gendun Drubpa, dan Y.M.S. Dalai Lama Kedua sebagai Gendun Gyatso. Secara umum dipercaya bahwa Y.M.S. Dalai Lama Ketiga juga harus memiliki Gendun sebagai nama depan. Hal ini telah diramalkan dalam “The Book of the Kadampa Masters”. Selain itu, Sang Guru yang memimpikan Tara di Biara Kyormolung juga telah menubuatkan nama Gendun Drakpa Gyaltsen Palzangpo untuknya. Setiap orang mengira bahwa Panchen Sonam Drakpa akan memberinya nama Gendun Drakpa.


Sampai hari ini Panchen dikritik karena melanggar tradisi ini, dan karena memberinya suku kata nama yang kedua, bukan suku kata nama pertama Y.M.S. Dalai Lama Kedua.


Namun, Panchen Sonam Drakpa punya alasan untuk melakukan ini. Gyatso berarti “samudera,” dan nama ini akan sangat berarti bagi masa depan garis keturunan. Seperti yang kita lihat, semua Y.M.S. Dalai Lama sejak itu telah memiliki Gyatso sebagai nama kedua mereka, dan Gendun tidak pernah digunakan lagi.


Anak laki-laki itu tidak tinggal lama di Drepung pada waktu itu, dikarenakan, kepala asistennya, Sunrab Gyatso, ingin membawa beliau ke biara di Chokhor Gyal dekat Danau Oracle, dan di sepanjang jalan memperlihatkan kepadanya banyak murid Y.M.S. Dalai Lama Kedua. Oleh karena itu, tidak lama setelah pentahbisannya mereka berangkat ke Gyal.


Pertama mereka berhenti di Tsey Gungtang, dan kemudian di Samyey. Di Samyey, bocah itu berkata, “Sebelumnya Lopon Rinpochey [Padma Sambhava] dan saya sangat bermanfaat bagi orang Tibet.” Jadi beliau menunjukkan bahwa beliau adalah reinkarnasi Raja Trisong Deutsen, yang telah membawa Padma Sambhava ke Tibet pada abad kedelapan dan mendirikan Biara Samyey.


Di Tsetang, rombongan mengunjungi semua biara dan pertapaan yang sering dikunjungi oleh Y.M.S. Dalai Lama Kedua. Anak itu mengenali banyak orang dari kehidupan sebelumnya dan memanggil mereka dengan nama mereka. Di Kuil Dradruk, di sana beliau menyebut nama para dewa dalam semua Thangka yang dilukis, meskipun dalam kehidupan ini beliau tidak pernah mempelajarinya.


Butuh waktu sebulan perjalanan untuk sampai di Gyal, karena orang-orang berjajar di sepanjang jalan untuk melihat Kelahiran kembali Y.M.S. Dalai Lama muda dan menerima berkahnya. Sejumlah keajaiban terjadi disekitarnya pada hari kedatangannya. Di sini Sang Lama muda memberikan persembahan kepada patung-patung suci yang disimpan di biara, terutama kepada Istadewata pelindung Palden Lhamo, dan mempersembahkan doa-doa panjang untuk kepentingan Ajaran dan makhluk hidup. Selain itu, meskipun baru berusia tiga tahun, beliau memberikan ceramah singkat tentang Dharma suci kepada para bhikkhu.


Saat itu pertengahan musim panas pada saat kunjungan mereka, dan Biara Gyal dikelilingi oleh bunga-bunga yang dinamakan — Metoktang, atau “The Flowery Pasture.” Y.M.S. Dalai Lama Ketiga akan kembali ke sini berkali-kali selama hidupnya untuk berlatih meditasi. Keindahan wilayah tersebut dilukiskan dalam sebuah puisi yang ditulisnya selama satu retret, berjudul “A Song to Soothe the Ear” :


O yogi yang berusaha dengan ketekunan Dalam yoga kebijaksanaan yang berarti,

Untuk Anda saya mempersembahkan lagu merdu ini

Dimaksudkan untuk menenangkan telinga yang teriritasi oleh kehidupan duniawi yang membosankan.

Disini di mana kita telah berkumpul,

Diberkati oleh kehadiran para Guru yang telah selesai di masa lalu Dan diperindah oleh danau bunga teratai

Merupakan tempat tinggal dari Daka dan Dakini dari tiga alam.

Awan seperti terbentuk di langit musim dingin,

Para Daka dan Dakini berkumpul di sini,

Di mana salju terhampar seperti selimut di pegunungan Yang membentang ke atas dan menyentuh langit.

Saat aku duduk menyaksikan keindahan ini, aku tidak bisa tidak menyandungkan suara pada lagu.

Ini adalah tempat untuk menanam Benih-benih spiritual sukacita,

Tempat di mana berkali-kali kita telah berbagi teh bersama dan berdiskusi Dharma suci.

Apa kesenangan yang lebih besar daripada ini?

Di masa depan, juga, Anda harus datang ke sini, Guru dan murid, Untuk membahas Dharma Agung Dan menulis tentang makna kehidupan.

Apakah ini tidak akan menjadi respon yang sangat indah Untuk lagu pendek saya ini?

Untuk tujuan inilah saya mempersembahkan komposisi ayat ini Yang muncul dengan kegembiraan spontan Dari lubuk hatiku yang paling dalam.


* * * *


Kelompok ini menghabiskan musim gugur di daerah Gyal dan kemudian kembali ke Drepung, di mana anak itu memulai latihannya yang ketat. Pertama-tama beliau menerima banyak inisiasi tantra dari Panchen Sonam Drakpa untuk menempatkan benih-benih berkah para guru silsilah di pikirannya. Kemudian dari Lingto Chojey Lekdon, beliau menerima bimbingan dalam sebagian besar risalah mendasar oleh para guru India, termasuk karya-karya utama Nagarjuna, Chandrakirti, Vasubandhu, Asanga dan Dharmakirti, serta tulisan-tulisan utama Lama Tsongkhapa. Selain itu, dari Shartsey Lekdon, beliau menerima banyak silsilah tantra yang penting. Setiap hari beliau mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk meditasi, dan secara berkala beliau melakukan retret intensif.


Setelah beliau menyelesaikan pelatihan dasarnya, anak itu mulai membagi waktunya antara Drepung dan Gyal. Ketika beliau melakukan perjalanan bolak-balik antara dua tempat ini beliau akan mengunjungi biara-biara dan kuil-kuil di sepanjang jalan untuk memberikan berkah dan ajaran, dan untuk mempersembahkan doa.


Di Tahun Tikus Air (1552), beliau tinggal dengan Panchen Sonam Drakpa dan ditempatkan di Singgasana Emas Drepung, yang dipercayakan dengan tanggung jawab untuk menjaga kecukupan material dan spiritual biara. Beliau baru berusia sembilan tahun saat itu. Tahun berikutnya beliau mengikuti jejak Y.M.S. Dalai Lama Kedua dengan memimpin Festival Doa Besar di Lhasa, di pagi hari menyampaikan khotbah tradisional tentang Cerita Jataka karya Aryasura dan pada sore hari memimpin sesi doa.


Setelah itu, beliau kembali melakukan kegiatan intensif belajar dan berlatih di bawah Panchen Sonam Drakpa. Selama waktu ini beliau menerima inisiasi memasuku Mandala Guhyasamaja, yang dikenal sebagai "Raja dari Sistem Tantra," bersama dengan pelajaran penuh. Dari para guru besar lainnya di daerah itu beliau menerima tiga garis silsilah Heruka Chakrasamvara Tantra, seperti Tantra Hevajra, aliran Rva Lotsawa dari Vajrabhairava; inisiasi Kalacakra, garis keturunan Siddharani dari Amitayus; dan banyak lagi garis keturunan tantra.


Singkatnya, selama tahun-tahun awal kehidupannya beliau menyerap semua tradisi utama dari Kendaraan Sutrayana dan Vajrayana yang ada di Tibet pada saat itu, mengintegrasikan mereka ke dalam kesehariannya dengan cara belajar, kontemplasi dan meditasi.


Salah satu guru utamanya adalah Tolungpa Palden Dorjey. Guru termasyhur ini adalah salah satu dari tiga murid utama Gyalwa Wensapa, yang masing-masing diduga telah mencapai pencerahan penuh dalam satu kehidupan dan memanifestasikan tubuh pelangi sebagai tanda pencapaian mereka. Di bawah Tolungpa, Sonam Gyatso menerima semua tradisi lisan yang berasal dari Lama Tsongkhapa.


Ketika Lama muda berusia dua puluh dua tahun, beliau mengambil penahbisan penuh seorang bhikkhu. Dengan cara ini, beliau menghormati dan menjunjung tradisi monastik sebagaimana ditetapkan oleh Buddha. Selama ritual penahbisan, beliau memberikan persembahan ekstensif kepada Sangha sebagai tanda penghormatannya kepada sangha.



Disadur dari "The fourteen Dalai Lamas a sacred legacy of reincarnation" Disusun oleh Glenn H. Mullin; 2001

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
Archive
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page