CANDI BOROBUDUR ADALAH MANDALA
Oleh: Chatresa Jayawardhana
Penemuan candi Borobudur sudah berusia 195 tahun sejak ditemukan oleh tim Sir Stamford Raffles. Ketika ditemukan, yang dilakukan oleh tim tersebut selain membersihkan area sekitar adalah membangun tempat teduh untuk minum teh dan menikmati pemandangan sekitar. Tahapan berikutnya dikisahkan dalam buku “200 Tahun Penemuan Candi Borobudur” dari Balai Konservasi Borobudur:
“Sepuluh tahun kemudian, setelah stupa puncaknya kedapatan terbongkar, dibersihkan bagian dalamnya dan diberi bangunan bambu sebagai tempat untuk menikmati pemandangan sambil minum teh (Soekmono, 1972:7). Akhirnya Candi Borobudur mulai muncul kembali untuk diteliti dan diperbaiki sesuai kebutuhan. Sebuah laporan Cornelius ditulis secara panjang lebar, namun laporan yang semula disimpan di Museum on Antiquities, Leiden, hilang, tetapi sebagian dilaporkan oleh C. Leemans, direktur Museum Purbakala di Leiden, tahun 1885 (Leemans, 1885:17) (Santiko dan Siawadi 1980).”
Para arkeolog atau peneliti nampaknya kesulitan memahami candi Borobudur. Ini tentu tidak mengherankan karena selama ini pengelolaan Candi Borobudur tidak pernah melibatkan ahli dari sisi filosofi agama Buddha di Indonesia secara aktif, bahkan hingga saat ini.
Begitu juga ketika 110 tahun lalu van Erp memasang Chattra candi Borobudur seperti pada gambar. Chattra hasil rekonstruksi memang sudah tepat dipasang di sana jika kita memahami Candi Borobudur dari sudut pandang filosofis, namun Van Erp menurunkan kembali dikarenakan fondasi penghubungnya saat itu belum ditemukan. Van Erp mungkin merasa kurang menghormati candi Borobudur itu sendiri dan pembuatnya bila Chattra dipasang tanpa bentuk pondasi yang pas seperti dibabarkan pada buku 100 tahun pemugaran Candi Borobudur. Mengingat banyaknya bagian bangunan Borobudur yang sudah rusak atau hilang, tentu pondasi ini akan sulit ditemukan. Tanpa dukungan penjelasan filosofis, Candi Borobudur selamanya hanya menjadi puzzle tidak terselesaikan. Dari sini, kita bisa melihat bahwa peran ahli filsafat Buddhis amat diperlukan dalam proses restorasi Candi Borobudur.
Mandala dari sudut pandang filsafat Buddhis
Dari sudut pandang filsafat Buddhis, candi Borobudur adalah sebuah mandala. Lalu apa itu mandala? Secara sederhananya, dijelaskan di situs Biara Namgyal (kediaman Y.M.S. Dalai Lama XIV) bahwa mandala berarti rumah atau istana. Mandala merupakan representasi istana suci Arya Buddha atau tempat tinggal-Nya. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa walaupun mandala sangat indah dan sangat menyenangkan secara estetis, mandala memiliki fungsi utama religius, bukan untuk dipandang sebagai karya seni yang dipajang di museum.
Ajaran mengenai mandala diturunkan secara lisan oleh Buddha Sakyamuni lebih dari 2.500 tahun yang lalu. Dikatakan juga bahwa melihat mandala dapat membantu mengubah arus batin seseorang dengan menciptakan kesan yang mendalam dan kuat akan kesempurnaan batin Arya Buddha. Hasil dari kesan mendalam ini akan membawa individu tersebut merasa lebih welas asih, mawas diri (Jawa: “eling”), dan menjadi individu yang lebih baik. Namun, lebih lanjut juga dijelaskan bahwa mandala mempunyai banyak bentuk dan representasi dari tiap-tiap istadewata Tantra.
Betulkah Candi Borobudur adalah mandala?
Dalam buku “100 Tahun Pemugaran Candi Borobudur”, Daud Aris mengatakan. “Dalam berbagai sumber sejarah Jawa Kuno memang dapat dibuktikan bahwa pendirian candi-candi di Jawa dan Bali juga didasarkan pada konsep mandala, di antaranya Candi Sewu yang disebut mandala dalam prasasti Kelurak (782 M) atau gugusan Candi Gunung Kawi di Bali yang disebut sebagai “Sanghyang Mandala Ring Amaravati” (Soekmono, 1974). Candi Borobudur sudah pasti adalah bangunan suci yang didirikan dengan konsep mandala tertentu. Yang pasti, bentuk dasar candi ini adalah paduan lingkaran dan persegi yang merupakan bentuk-bentuk yang hakiki. Bernet-Kempers (1976) juga yakin bahwa dari denahnya yang terdiri dari paduan bentuk lingkaran, persegi, dan tangga, Candi Borobudur pastilah merupakan lambang dari suatu mandala.”
Berdasarkan info dari situs Balai Konservasi Borobudur, Candi Borobudur merupakan bangunan berkonsep piramida yang dikenal dengan sebutan punden berundak. Jumlah kesepuluh lantainya berkaitan dengan ajaran Dasabhumi dalam Buddhisme Mahayana, yaitu sepuluh tingkat perkembangan Bodhisatwa yang harus dilalui untuk mencapai Kebuddhaan. Menurut Daigoro Chihara, di tahap awal pembangunannya, Candi Borobudur mengikuti konsep enam paramita (penyempurnaan sifat luhur) sebelum akhirnya berkembang menjadi sepuluh paramita. Selain konsep diatas, Daigoro Chihara, Soekmono, dan Bernert Kempers juga berpendapat bahwa Candi Borobudur melambangkan sebuah mandala.
Penelitian disertasi Caroline Gammon juga menyebutkan bahwa Candi Borobudur tidak memiliki hubungan atau berhubungan dengan sistem mandala manapun yang ditemukan pada masa sebelum Candi Borobudur dibangun. Candi Borobudur merupakan sistem mandala yang unik dan digunakan dalam praktik religius.
Apakah Candi Borobudur memiliki struktur mandala?
Sebagaimana rumah atau istana, mandala memiliki pintu masuk yang unik berbentuk menyerupai ujung wajra. Ujung wajra ini ditemukan di pintu masuk utama Borobudur berdasarkan disertasi Caroline Gammon, yaitu pintu yang menghadap ke timur tempat relief Lalitawistara dimulai. Hal ini umum ditemukan pada seluruh monumen Buddhis dan tidak secara eksklusif dari paham tantra. Pada mandala tantra, sumbu utama disimbolkan dengan wajra ganda. Anak tangga dan pegangan candi Borobudur pada empat arah merepresentasikan 4 ujung tiap wajra. Pegangan anak tangga tersebut dihiasi dengan kepala makara dengan mulut terbuka dan lidah yang sangat panjang melengkung. Makara sendiri adalah monster laut mitologis dan kelima ujung wajra itu tidak lain adalah kepala makara dan lidahnya. Berdasarkan bukti-bukti yang ada ini, Caroline Gammon menyimpulkan bahwa sangat memungkinkanpembangunan candi Borobudur, diniatkan sebagai mandala “Sarvavidmahavairocana”.
Sang Hyang Kamahayanikan Mantrayana (SHKM), satu-satunya teks yoga tantra (salah satu dari 4 kelas tantra yang ada) Jawa kuno yang selamat hingga saat ini, juga telah menjadi rujukan untuk menginterpretasikan Candi Borobudur dari sudut pandang filsafat Buddhis. De Jong mengidentifikasikan adanya paling tidak 22 bait dari tantra Mahavairocana-bhisambodhi. Bila bait ini dibandingkan dengan inisiasi yoga tantra, ke-22 bait tersebut tidak lengkap dikarenakan hanya terdapat inisiasi Guru Wajra yang merupakan bagian akhir dari inisiasi yoga tantra. Hal ini mendukung pernyataan bahwa Buddhisme yang berkembang di Nusantara saat itu tidak lain adalah aliran yoga tantra. Hal ini juga didukung pada manuskrip Nagarakrtagama pada tahun 1365 yang mencantumkan kata “Budur” untuk merujuk pada tempat suci dari tradisi Buddhisme Wajrayana/Tantrayana.
Caroline Gammon menambahkan bahwa ada kemungkinan ketika Balaputra yang menyelesaikan pembangunan candi Borobudur naik tahkta di kerajaan Sriwijaya, guru besar asal Bengali bernama Atisha Dipamkara sedang berada di Sriwijaya. Ada kemungkinan Atisha mendengar tentang Candi Borobudur dan membawa gagasan arsitektur serta filosofis Candi Borobudur ke Tibet dan kelak memberikan pengaruh cukup besar pada pembangunan Stupa Gyentse (stupa atau mandala terbesar yang ditemukan di Tibet hingga saat ini dengan ketinggian mencapai 32 meter) dan beberapa stupa lainnya. Di daerah Tibet Barat, terutama Ngari, Gyantse, Trophul, dan Shigatse yang pernah dikunjungi oleh Atisha, banyak ditemukan monumen Buddhis yang diduga dipengaruhi oleh candi Borobudur.
Keunikan Mandala Borobudur
Dalam “Uncovering The Meaning of The Hidden Base of Candi Borobudur”, Profesor Noerhadi Magetsari mengatakan, “Nampaknya Buddhisme Borobudur, jika saya boleh mengatakannya demikian, adalah kombinasi unik dari Mahayana dan Tantrayana. Hal ini bukanlah suatu kombinasi yang tidak hanya secara konseptual atau filosofis, namun juga terintegrasi dalam doktrin ajaran yang terkandung pada Candi Borobudur. Lebih lanjut Candi Borobudur juga bisa menjadi petunjuk tentang bagaimana meletakkan seluruh ajaran menjadi praktik. Hingga saat ini, secara tekstual maupun struktur dasarnya, aliran Mahayana dan Tantrayana pada Buddhisme diperlakukan secara terpisah. Maka dari itu integrasi dari Mahayana dan Tantrayana secara ajaran terutama hubungannya ke sekolah filosofi Yogacara tidak dapat ditemukan di mana pun selain di Candi Borobudur. Keunikan lainnya dari Borobudur adalah penempatan Sutra yang dapat dilihat menjadi relief. Hingga saat ini, pemilihan dari Sutra dan penyusunan letaknya hingga menjadi monumen tunggal masih diakui oleh para peneliti sebagai contoh susunan terhalus yang pernah ditemukan. Pemilihan Sutra-Sutra itu sendiri memang hingga saat ini masih sering dikomentari. Salah satu komentar adalah bahwa bagaimana arsitektur dari Borobudur, bagaimana bisa menampilkan suatu karya besar Buddhisme, tentu didukung oleh perpustakaan yang besar dan lengkap dalam koleksinya.”
Profesor Magetsari dalam pembahasan Buddhisme periode Borobudur juga menambahkan bahwa secara struktural dan sutra yang diambil, Borobudur terdiri dari 5 bagian:
Mahakarmawibhangga, merepresentasikan umat awam yang terikat oleh hukum sebab-akibat. Oleh karenanya bagian ini perlu ditutup dikarenakan status Borobudur saat itu hanya ditujukan kepada Bodhisatwa tingkat 7 ke atas.
Lalitawistara, Awadana, dan Jataka, simbol kebajikan yang perlu dicapai untuk meraih Bodhisatwa tingkat ke-7. Meski merepresentasikan praktik Mahayana, relief ini bisa jadi masih berhubungan dengan praktik Tantrayana karena tahap Mahayana jelas merupakan persyaratan multak yang harus sudah dikuasai seorang praktisi sebelum memasuki tahapan Tantrayana.
Relief pada galeri selanjutnya merupakan penjelasan filosofis dari praktek yoga itu sendiri. Galeri ini merupakan manifestasi Sudhana mengikuti doktrin sebagaimana dijelaskan pada bagian akhir sutra Avatamsaka Sutra.
Tahap berikutnya adalah tahapan Tantrayana yang direpresentasikan dengan arca Panca Tathagata.
Stupa puncak tidak lain merupakan simbol pencapaian Kebuddhaan.
Pendapat Profesor Magetsari ini memperkuat pendapat Caroline Gammon yang mengatakan bahwa Candi Borobudur awalnya dibangun untuk merepresentasikan tahapan Mahayana, dan juga berfungsi menjadi mandala Yoga Tantra. Caroline Gammon juga menambahkan bahwa dugaan terkuat Candi Borobudur tidak lain merupakan “Sarvavidmahavairocana”. Hal ini diperkuat oleh pendapat dari Lokesh Chandra yang mengatakan bahwa hal serupa terjadi di Jepang. Lokesh Chandra menjelaskan bahwa ketika penguasa lokal saat itu ingin menunjukkan stabilitas politik dan pengaruhnya, maka Mahavairocana akan dipilih sebagai Istadewata utama. Amatlah mungkin hal ini juga yang ingin ditunjukkan oleh Dinasti Syailendra kepada warga kerajaannya maupun kerajaan tetangga pada masa itu, saat Buddhisme hanya dianut oleh keluarga bangsawan sementara warga jelata kebanyakan masih menganut Hinduisme maupun kepercayaan lokal lainnya.
Pada restorasi UNESCO tahun 1974, sebuah wajra perunggu berujung 5 berukuran 1,9 cm ditemukan pada celah candi Borobudur. Wajra-wajra yang lain yang diperkirakan berasal dari abad IX-X juga ditemukan di sekitar candi Borobudur maupun Jawa Tengah. Bahkan ada wajra yang berukuran hingga 26 cm. Penemuan wajra di Candi Borobudur ini jelas menunjukkan bahwa jelas Candi Borobudur minimal pernah dikunjungi oleh para praktisi Tantrayana. Ini sejalan dengan salah satu dari empat samaya (komitmen) utama kepada Buddha Aksobhya: selalu membawa atau menjaga sebuah wajra adalah wajib. Kemungkinan besar wajra ini ditinggalkan oleh yogi/yogini (praktisi Tantrayana) yang praktiknya di Candi Borobudur pada masa lalu.
Kesimpulan
Dengan berbagai peninggalan benda ritual yang ditemukan di sekitar Candi Borobudur dan tambahan penjelasan para peneliti di atas, dapat disimpulkan bahwa pembangunan Candi Borobudur dibangun untuk kegiatan spiritual agama Buddha pada masa itu. Penyelarasan akhir dari pembangunan Candi Borobudur inilah yang membuat Candi Borobudur dapat dikatakan sebagai mandala yang sempurna, yaitu mandala dengan ukuran asli agar bisa dimasuki untuk membantu perenungan dan meditasi bagi para praktisi yoga tantra saat itu dan sebuah persembahan agung sebuah mandala Mahavairocana.
Referensi:
“200 Tahun Penemuan Candi Borobudur” - Balai Konservasi Borobudur (2015)
“100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur; Trilogi I: Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur” - Balai Konservasi Borobudur (2012)
“Uncovering the Meaning of the Hidden Base of Candi Borobudur” - Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (2009)
Borobudurpedia.id diakses 26 Maret 2021
Namgyal.org - “More About Sand Mandala”, diakses pada 25 Maret 2021
http://arsip.borobudurpedia.id/uploads/Lemari_IF/3329.I.F.3.53.jpg
Kommentare