top of page

Acharya Shantideva : Sang Penuntun Jalan Bodhisattva (2)


Baca terlebih dahulu Acharya Shantideva (1)

Semoga permata bodhicitta yang berharga

Terlahir pada mereka yang belum memilikinya

Dimana ia telah lahir, semoga ia tak akan merosot

Dimana ia tak merosot, semoga tumbuh berkembang selama-lamanya

~Doa pengembangan bodhicitta - BODHICHARYAVATARA~


Pada mulanya Shantideva menolak permintaan mereka, karena didesak akhirnya ia bersedia dengan syarat minta dibuatkan sebuah singgasana baginya. Mereka segera mempersiapkannya, dengan mendirikan singgasana yang tinggi dengan tanpa membuat tangga untuk menaikinya, agar dia tidak dapat naik dan duduk di atasnya. Ketika memandang singgasana tinggi tersebut ia memegangnya dengan satu tangan dan menekannya dengan kekuatan siddhinya, singgasana tersebut merendah dan dengan mudah ia duduk di atasnya. Dengan tenang ia menanyakan kepada semua yang hadir apakah mereka ingin ia melafalkan sutra yang sudah pernah dilafalkan atau mendengar ajaran yang belum pernah diajarkan. Mereka menjawab ingin mendengar sesuatu yang belum pernah didengar sebelumnya. Ia kemudian mulai menyampaikan ajaran ‘Bodhicharyavatara’ yang diawali dengan kalimat:


“Aku bersujud kepada para Sugata dengan penuh rasa hormat,

Yang menyandang Dharmakaya,

Demikian pula para Jinaputra yang mulia

Serta kepada semua yang pantas untuk dihormati.”


Saat ia sampai pada bab kesembilan, bab tentang prajna yang menjelaskan tentang sunyata yang mendalam, ia terbang ke angkasa. Semakn tinggi ia mengangkasa, tubuhnya menjadi tak terlihat lagi namun suaranya tetap terdengar dengan jelas.


Di kemudian hari mereka yang mengerti dengan baik ajaran itu dan mereka yang memiliki dharani kesempurnaan ingatan, mencatat ajaran yang disampaikan Guru Shantideva tersebut. Namun demikian, terdapat beberapa versi ajaran ini. Versi India tengah (Magadha) berisi 1.000 slokha, sedangkan versi Bengala hanya berisi kurang dari 800 Slokha (Dinyatakan bahwa bab papadesana dan prajnanya hilang), dan versi Kashmir berisi lebih dari 1.000 Slokha (tidak termasuk slokha penghormatan). Tidak jelas versi mana yang paling tepat memuat ajaran yang diucapkan oleh Mahaguru Shantideva.


Mendengar Guru Shantideva berdiam di Shri Daksina Kalingga (wilayah Trilingga), tiga orang pandita pergi ke sana untuk menemuinya. Mereka mengundang Guru untuk bersama mereka kembali ke Nalanda, tetapi Guru menolak. Mereka juga menanyakan versi yang mana dari Bodhicharyavatara yang paling tepat, Guru berkata bahwa versi Magadha lah yang paling tepat. Mereka juga menanyakan di manakah Sikshasamucaya dan Sutrasamucaya yang beliau anjurkan dapat didapatkan. Guru berkata bahwa mereka akan menemukan teks tersebut di bekas tempat tinggalnya di Nalanda. Kemudian beliau menyampaikan ajaran itu pada mereka.


Di hutan dimana Guru Shantideva tinggal, terdapat sebuah vihara yang dihuni oleh lima ratus orang bhiksu. Beberapa bhiksu disana melihat bahwa binatang-binatang yang masuk ke dalam gua Guru Shantideva tidak keluar lagi. Mereka menduga bahwa Guru Shantideva telah membunuhnya. Akan tetapi setelah menyelidiki gua itu dengan cermat, para bhiksu mendapati bahwa binatang-binatang tersebut masih hidup dan dalam keadaan sangat baik. Mereka kemudian meminta maaf atas prasangka buruk kepadanya, mereka memohon agar Guru Shantideva berkenan tetap tinggal dan mengajar mereka. Namun kemudian Guru malah melepaskan jubahnya dan pergi sebagai seorang yogi ke India selatan, dimana di sana beliau hidup sebagai seorang pertapa pengembara.


Pada suatu ketika, pada saat Guru Shantideva sedang melintas, seorang penduduk sedang membuang air cucian lewat jendela. Air itu jatuh tepat menyiram kaki Guru Shantideva, seketika air itu mendidih seolah-olah disiramkan pada besi yang membara. Penduduk itu sangat heran serta tak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Pada saat yang sama, seorang Guru non Buddhis bernama Shankaradeva, berkeinginan menantang para Pandita Buddhis berdebat, ia pergi menemui Raja Khatibhidari, penguasa negeri itu. Usul yang ia ajukan adalah agar mereka yang kalah mengikuti ajaran dari pemenangnya dan tempat sucinya dihancurkan. Ia meminta sang raja yang menjadi saksi perdebatan ini. Raja setuju, dan mengirimkan utusan membawa tantangan itu kepada para penganut ajaran Hyang Buddha. Mereka membawa kabar kepada raja, bahwa tak ada seorang penganut Buddhis pun yang siap menghadapi tantangan tersebut, karenanya Raja Khatibidhari kemudian merasa sangat kecewa. Pada saat itulah, penduduk yang telah membuang air cucian mengenai kaki Guru Shantideva datang, menceritakan kejadian tang telah dialaminya kepada raja dan menanyakan siapakah pertapa sakti itu. Mendengar cerita rakyatnya, raja dengan segera menyebarkan orang ke segala penjuru untuk menemukan pertapa Buddhis yang dimaksud. Setelah pencarian yang cukup lama akhirnya mereka menemukan Guru Shantideva yang sedang duduk dibawah sebatang pohon seperti seorang pengemis. Guru Shantideva menerima tantangan tersebut dan meminta untuk diberikan bejana air, beberapa potong pakaian dan api, sehingga ia dapat mengurus dirinya sendiri selama perdebatan berlangsung.


Tak terbilang orang yang datang menyaksikan perdebatan ini. Kedia pendebat duduk di atas singgasana di tengah-tengah penontonnya. Raja Khatibidhari bersama menterinya duduk di sebelah kiri sedangkan para pandita duduk di sebelah kanan. Perdebatan dimulai, dan tak dibutuhkan banyak waktu bagi Guru Shantideva untuk mengalahkan Shankaradeva. Setelah kalah Shankaradeva menantang untuk mengadu kekuatan gaib dan dengan segera ia melukis mandala Dewa Shiva di angkasa. Saat Shankaradeva menyelesaikan pintu timur mandala, Guru Shantideva memasuki Samadhi mendatangkan badai topan yang menghancurkan, dan seketika membubarkan mandala tersebut. Raja bersama para menterinya dan semua yang menyaksikan juga tertiup, daerah sekitarnya tersaput dan tertutup debu. Shankaradeva bersama mandalanya terbawa terbang seperti seekor burung yang melayang tak berdaya di dalam angina topan yang sangat menakutkan. Setelah itu seluruh kawasan tersebut gelap gulita. Tiba-tiba, Guru Shantideva meneranginya dengan pancaran cahaya terang yang keluar dari antara kedua alis matanya dan saat itu juga badai topan berhenti. Seketika semua orang dan segala sesuatu di daerah itu kembali seperti semula. Untuk memenuhi kesepakatan sebelumnya, semua tempat ibadah non Buddhis ditutup, dan banyak penganut non Buddhis kemudian menganut ajaran Buddhis.


Kota di mana kejadian ini terjadi kemudian diberi nama “Penaklukan bukan Buddhis”. Suatu ketika saat para pandita non Buddhis mengalami kesulitan dalam hidup mereka, Guru Shantideva menciptakan makanan dengan siddhinya, sehingga secara bertahap dapat membawa mereka kejalan Dharma Hyang Buddha. Pada kesempatan yang lain, terjadilah bencana kelaparan yang mengakibatkan beribu-ribu orang meninggal karena kelaparan. Guru Shantideva menyelamatkan hidup mereka dengan memberikan ajaran yang memungkinkan mereka memiliki rasa puas terhadap apa yang ada. Di bagian timur Ariboshana, hidup seorang raja dengan orang-orang jahat yang bersekongkol untuk menjatuhkan dirinya. Guru Shantideva membantu raja tersebut mengatasi keadaan dan membawa sang raja beserta seluruh rakyatnya ke jalan kebajikan Dharma. Pada waktu yang lain ia menghindarkan terjadinya peperangan dengan cara mengajarkan Dharma suci dan mengadakan pertunjukan pesta perang-perangan yang menjadi cara untuk bersenang-senang.


Demikianlah beberapa kisah kegiatan Mahaguru Shantideva, seorang Bodhisattva agung; yang dilakukan semasa hidupnya, sehingga ia dipuja sebagai salah satu Guru agung dari India sepanjang masa.


Disadur dari Bodhicharyavatara : Penuntun Jalan Hidup Bodhisattva terjemahan Upashaka Pandita Samtijnana. DIterbitkan oleh Yayasan Bhumisambhara, 2002

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
Archive
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page