top of page

Dagpo Rinpoche Losang Jampel Jampa Gyatso (1) : Seorang Lama dari Silsilah Tinggi


Dagpo Rinpoche tidak suka berbicara tentang dirinya sendiri. Seandainya beliau menyetujui untuk menceritakan pengalaman spiritual yang luar biasa ini - pengalaman dari reinkarnasi seorang lama - itu hanya karena, sejak lama, beliau ingin menerbitkan buku dalam bahasa Tibet untuk anak-anak muda. Beliau ingin mereka mengetahui bagaimana keadaan Buddhisme di Negeri Tibet sebelum diserbu oleh bangsa Cina.


Beliau merasa khawatir melihat kemusnahan kebudayaan dan adat yang beribu-ribu tahun lamanya berlandaskan Buddhisme dan membentuk Tibet sehingga beliau berharap bahwa kesaksiannya dapat menyelamatkan beberapa bagian dari peradaban ini. Oleh karena itu, beliau tidak ragu-ragu pada waktu ada usulan untuk memberikan kesaksian ini kepada para pembaca perancis. Beliau seketika melihat hal ini sebagai suatu kesempatan untuk menghidupkan kembali Tibet tempo dulu, dan memaparkan kepada orang Barat yang sering merasa ingin tahu, dan kadang terpesona oleh Buddhisme, tentang adat dan agama dari negara beliau. Sejak tahun 1950, semua orang Tibet dicengkram oleh penguasa Beijing yang mengutarakan alasan palsu berupa keinginan untuk membawa kebaikan dari modernitas. Tetapi sebetulnya bangsa Cina merampas kekayaan alam Negeri Tibet, mengekspor banyak manusia, dan terutama untuk menguasai suatu daerah yang telah diinginkan sejak lama.


Sikap rendah hati Dagpo Rinpoche sangatlah termashyur. Tetapi beliau setuju untuk menceritakan masa kecil beliau dalam sebuah keluarga tuan tanah dan pengakuan dirinya oleh Dalai Lama XIII sebagai tulku, bukti bahwa beliau adalah reinkarnasi dari salah seorang lama yang paling agung pada zaman sekarang. Beliau seolah menghidupkan kembali keadaan keseharian yang menakjubkan dalam kehidupan biara berbeda-beda yang mendidik beliau dari umur 6 sampai 26 tahun. Beliau juga mengisahkan pengungsian yang kalang kabut ke India, menyeberangi gunung Himalaya untuk meloloskan diri dari cengkraman bangsa Cina yang menghalangi beliau untuk "memanfaatkan kehidupan manusia ini". Beliau juga mengisahkan pertemuannya dengan para ahli Tibet dari Perancis yang akan membawa beliau ke Universitas Sorbonne dan Pusat Bahasa Timur sebelum kemudian kembali ke Tibet pada tahun 1987, dan akhirnya memberikan banyak pengajaran di Perancis, dan juga di Eropa Barat dan di Asia. Namun demikian, beliau selalu bersikap tertutup tentang silsilah agung beliau.


Dagpo Rinpoche menolak untuk memaparkan, kecuali hanya dalam beberapa kata, silsilah agung tersebut. Sebaliknya beliau mengusulkan kami untuk meminta pendapat tentang hal itu dari teman lama beliau, Thupten Phuntshog, yang mana mereka tidak pernah berpisah selama 51 tahun, dan juga dari dua asisten utama beliau yaitu Marie-Stella Boussemart dan Rosemary Patton. Keduanya pernah menjadi murid beliau di Pusat Bahasa Timur pada tahun 1970 dan 1980 dan menerjemahkan pengajaran yang selalu beliau berikan secara lisan dalam bahasa Tibet.


Kenapa harus begitu banyak sikap tertutup? Ini sebenarnya hanya karena perasaan malu dan rendah hati. Silsilah dari pamannya yaitu Dagpo Lama Rinpoche (yang berarti silsilah beliau juga) begitu agung hingga beliau merasa malu mengatakannya kecuali ketika bercanda atau secara tidak langsung. Sebuah silsilah yang, menurut beberapa biografi berbeda, diturunkan sejak waktu tak berawal, sesuatu yang tidak mengherankan orang-orang Buddhis. Mereka mengatakan bahwa tidak ada permulaan atau akhir - tetapi ada akhir dari penderitaan - dan juga tidak ada makhluk pertama, para makhluk selalu ada, tidak ada akhir dari para makhluk, kecuali tubuh manusianya.


Riwayat dari pendahulu beliau -yang mana beliau adalah kelahiran kembalinya dan menolak mengakui karena merasa tidak pantas- mengisahkan bahwa silsilah agung ini dimulai dari seorang bodhisatwa yaitu makhluk yang sudah membangkitkan batin pencerahan Buddha. Bodhisatwa yang hidup jauh sebelum zaman Buddha Sakyamuni (556 - 476 SM) dan dikenal karena terus menangis putus asa karena tidak bisa menemukan seorang guru yang dapat membantunya untuk memahami kesunyataan, kunci untuk mencapai Kebuddhaan.


Dikisahkan bahwa setelah melihat penampakan langsung dari Buddha Manjushri, Buddha Kebijaksanaan, beliau akhirnya mengetahui dimana bisa mendapatkan guru, yaitu di India. Beliau pergi ke negeri itu dan disana mendapatkan pemahaman langsung akan kesunyataan dan mencapai tingkat Arya Bodhisatwa. Ini adalah tingkat dimana seseorang hanya mementingkan orang lain, dan tidak terikat lagi oleh proses kelahiran dan kematian yang ditentukan oleh karma. Tingkat dimana seseorang bisa secara bebas menentukan kelahiran dan kematiannya di masa mendatang, tergantung kebutuhan para mahkluk lain. Seorang Arya Bodhisatwa bebas dari kemelekatan terhadap materi, tetapi bisa memanfaatkannya bila keadaan membutuhkan. Ia juga bisa mewujudkan diri dalam berbagai bentuk sekaligus. Ia bisa membuat sebanyak mungkin perwujudan yang dia inginkan dan yang diperlukan untuk kebaikan para makhluk. Semakin dekat ke pencapaian Kebuddhaan, semakin banyak perwujudan yang bisa diemanasikan. Singkat kata, ketika beliau muncul kembali ratusan tahun kemudian, pada abad 10, bisa diperkirakan bahwa beliau sudah menjadi seorang Buddha, walaupun berwujud manusia.


Kelahiran kembali, emanasi... Dalam bahasa Tibet, kedua kata ini mempunyai makna yang sama. Ada yang mengatakan bahwa istilah emanasi lebih cocok untuk seorang Buddha yang bisa mewujudkan dirinya dalam berbagai bentuk yang diinginkan, sedangkan kelahiran kembali ditujukan untuk manusia biasa, dimana satu arus batin mengambil satu raga baru. Tetapi pengertian kelahiran kembali adalah yang paling mendasar. Di luar konsep ini, Buddhisme tidak akan dapat dipahami karena kehidupan selalu berubah bentuk tetapi tidak pernah berhenti. Ini juga suatu konsep mendasar, yaitu para makhluk bisa berlatih untuk mencapai suatu tingkat spiritual yang lebih tinggi dan bisa mencoba untuk mencapai tingkat tertinggi yaitu Kebuddhaan karena semua makhluk hidup mempunyai benih Kebuddhaan.


Mari kita lihat sekarang mata rantai yang pertama yaitu seorang Bodhisatwa yang berwujud manusia bernama Serlingpa. Beliau adalah seorang pangeran, raja dari suatu daerah di pulau Sumatra, seorang politikus, berada, dan dikelilingi oleh banyak pelayanan. Beliau menjadi seorang biksu dan terkenal dalam dunia Buddhis abad X sebagai guru yang menerima semua silsilah ajaran tentang batin pencerahan (bodhicitta), atau metode-metode latihan untuk menjadi seorang Buddha. Beliau seorang guru yang sangat agung, guru yang begitu terkenal hingga pandit Atisha menempuh satu perjalanan panjang untuk bertemu dengannya dan tinggal bersamanya selama 12 tahun untuk menerima ajaran tentang batin pencerahan. Yang Mulia


Atisha adalah pangeran dari Bengal yang lahir pada tahun 962, seorang dengan pengetahuan tinggi tetapi juga seorang yogi, seorang biksu, seorang yang mempraktikkan Tantra dengan lebih dari 100 guru. Yang Mulia Atisha akan mengunjungi Negeri Tibet dimana beliau akan menyebarkan Buddhisme untuk kedua kalinya di negeri tersebut mulai tahun 1042. Beliau lah yang menyusun risalah pertama yang menguraikan tentang Lamrim atau jalan Bertahap Menuju Pencerahan.


Mata rantai kedua adalah Marpa sang penerjemah yang hampir merupakan mata rantai langsung setelah Lama Serlingpa. Beliau lahir tahun 1012 di Tibet dalam sebuah keluarga petani yang berada. Tokoh yang sangat menarik yang mana beliau mempunyai 9 istri dan banyak anak. Beliau punya banyak tanah, berkarakter pemarah, dan bertengkar terus dengan para tetangga. Tetapi beliau juga seorang berpengetahuan tinggi dan guru agung. Karena tidak tahan dengan sifat pemarahnya, ayahnya menitipkan anaknya yang masih muda kepada seorang guru yaitu Brokmi Lotsawa, yang mengajarkannya bahasa Sanskerta. Kemudian, karena beliau tidak bisa membayar uang emas kepada gurunya tersebut sebagai imbalan, beliau pergi ke India untuk mencari guru yang kurang menuntut dan berpengetahuan lebih tinggi. Beliau berguru antara lain kepada Naropa, seorang petapa. Gurunya tersebut mentransmisikan banyak transmisi lisan kepada beliau -sesuai dengan tradisi- dan kemudian beliau membawa banyak silsilah ajaran ke Negeri Tibet serta mentransmisikan lagi ajaran-ajaran tersebut kepada murid-muridnya sambil mengurus ladang dan peternakannya. Seperti yang dilakukan Lama Serlingpa kepada Yang Mulia Atisha, Marpa - sebelum meninggal pada tahun 1097- mengajarkan semua pengetahuannya kepada Jetsun Milarepa (1040-1123) setelah beliau memberikan banyak cobaan yang sangat berat kepada muridnya tersebut, untuk memperkuat imannya dan membersihkan karma buruknya. Contohnya, Milarepa harus membangun banyak menara seorang diri dan setiap kali dia hampir menyelesaikan tugas itu, Marpa memberitahukan bahwa bentuk menara itu tidak sesuai dengan keinginannya dan muridnya tersebut harus mulai membangun yang baru. Milarepa patuh dan menjalankan permintaan baru dari gurunya itu tanpa putus asa. Milarepa tinggal di gua-gua, hidup sebagai petapa di gunung-gunung, menjadi yogi dan memulai salah satu aliran Kagyu bernama Dagpo Kagyu. Beliau berhasil mencapai tingkat Kebuddhaan dalam satu kehidupan dan mempunyai banyak murid yang tertarik oleh teladan hidupnya, yang juga memprakarsai terbentuknya satu aliran baru yaitu Gelugpa. Seperti kisah San Fransiscus Asisi, beliau menarik perhatian dan melindungi binatang-binatang yang dikejar oleh para pemburu. Para pemburu terkesima oleh kebajikannya dan lalu menjadi murid-murid beliau, seperti yang diceritakan oleh penulis biografi dari Marpa dan Milarepa.


Marpa dianggap sebagai salah seorang guru Tibet yang paling penting dan juga sebagai penerjemah yang luar biasa. Beliau menerjemahkan banyak kitab penting seperti sutra-sutra dari Sang Buddha, dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tibet, dan mentransmisikan pula kepada muridnya banyak silsilah ajaran Marpa merupakan guru utama dari Milarepa. Beliau adalah tokoh utama dari aliran Dagpo Kagyu, dan dihormati oleh semua orang Buddhis di Tibet...


Mata rantai ketiga adalah Longdol Lama Rinpoche. Dagpo Rinpoche pernah berkeinginan untuk membuat disertasi mengenai tokoh ini. Beliau juga dari aliran Gelugpa. Lahir pada abad XVIII dalam sebuah keluarga miskin, beliau menderita karena harus mencoba bertahan hidup dan melawan kemalangan sebelum menjadi biksu dan mencari seorang guru. Beliau akhirnya berhasil dan berkat pelajaran dan praktik, beliau menjadi terkenal. Beliau menulis banyak risalah, antara lain sebuah kronologi Buddhis yang terkenal dan kitab-kitab sejarah. Sebuah biografi menceritakan bahwa, diantara banyak anekdot lainnya, Longdol Lama Rinpoche selalu mengeluarkan tongkat dari bawah takhta tempat duduk beliau, bila ada murid yang datang kepada beliau untuk mengucapkan selamat tahun baru. Beliau akan mengacungkan tongkatnya dan berseru, “Tahun baru! Tahun baru! Apa artinya! Pikirlah sedikit! Ini berarti umur kita semua tambah satu tahun lagi. Kalian lebih baik merenungkan kematian daripada berpesta seperti orang tolol!”


Mata rantai keempat dan masih pada abad 18 adalah Jampel Lhundrup, seorang biksu dan kepala dari biara filsafat Dagpo Dratsang. Berkat tingkat konsentrasi yang luar biasa, beliau sering melihat penampakan dari tiga Buddha yaitu Buddha Welas Asih [Avalokitesvara], Kebijaksanaan [Manjushri], dan Segala Kekuatan [Vajrapani]. Menurut biografi, ciri utamanya adalah beliau selalu menyebut nama ayahnya pada waktu beliau membaca doa dedikasi pada akhir upacara. Beliau selalu bercucuran air mata karena merasa kasihan kepada ayahnya, seorang yang suka memancing, jadi sering membunuh ikan, dan akibatnya tidak dapat mendapat kelahiran kembali yang baik. Sebuah adegan yang, dikatakan, membuat tertawa para biksu muda yang selalu gaduh dan mencari hiburan.


Mata rantai kelima dan kini sudah memasuki abad 19, adalah Kelsang Jampel. Beliau juga pernah menjadi kepala biara di Dagpo Dratsang, dan dikenal karena berhasil memberi semangat baru kepada biara Bamcho (salah satu dari dua biara di mana Dagpo Lama Rinpoche pernah belajar). Karena tidak mempunyai karisma, kepala biara Kelsang Rinpoche, merasa sedih karena tidak ada yang patuh kepadanya. Kemudian beliau bertanya kepada Istadewata-nya untuk mengabulkan keinginannya yang paling berharga: adanya rasa hormat dari para biksu dalam kehidupannya yang akan datang, agar semua orang patuh kepadanya.


Beberapa waktu sebelum meninggal, beliau menemukan seseorang yang akan menjadi ayah beliau dalam kehidupan selanjutnya yaitu Tinle Sopa, seorang beriman yang telah lama berpraktik meditasi Lamrim. Walaupun mereka bertemu untuk pertama kali, Kelsang Jampel berlaku seperti layaknya seorang teman lama. Beliau memberikan satu bibit bunga dan memberi nasihat kepada Tinle Sopa untuk membangun rumah, memelihara kebun dan menanam bibit bunga tersebut. Kemudian beliau berkata kepada Tinle Sopa bahwa tak lama lagi mereka akan bertemu kembali dan kemudian beliau meninggal. Tinle Sopa mengikuti apa yang dinasihatkan kepadanya dengan teliti dan rumahnya akan menjadi tempat tinggal utama dari anaknya, Jampel Lhundrup yang merupakan mata rantai keenam, pendahulu langsung sebelum Dagpo Rinpoche.


Jampel Lhundrup (1845-1919) juga merupakan tokoh penting pada zamannya dan penerima silsilah Lamrim dari Lama Serlingpa. Ayah beliau, Tinle Sopa, masih keturunan raja Tibet. Walaupun ia seorang petani, tetapi ia mempraktikkan Lamrim, hingga bisa memberi banyak pengajaran kepada anaknya, dan mengumpulkan nasihatnya dalam satu buku. Karena beliau begitu cerdas, gurunya di Bamcho lalu di Dagpo Dratsang, mengajarkannya tanpa kesulitan, meskipun masa-masa awal beliau di Dagpo Dratsang sangatlah sulit. Sesuai dengan peraturan, guru beliau membawa beliau ke kepala biara yang mengatakan, "Seandainya Anda inkarnasi dari Lama Jampel, guru dari seorang lama haruslah seperti setan. Harus mendidik seorang lama seperti adonan dan harus dipukul", dan kepala biara menunjukkan gerakannya. Merasa ketakutan, sang biksu muda menangis walaupun ia hanya memikirkan bagaimana agar pelajarannya berkembang. Sewaktu liburan saat subuh, beliau pergi dengan dua kawan ke satu pertapaan yang terpencil dimana seorang guru mengajarkan Lamrim kepada mereka, kemudian kembali ke biara pada malam hari. Karena merupakan peraturan bahwa biksu harus tidur di biara. Tetapi tidak ada yang bisa menghalangi beliau. Beliau menjadi kurang tidur, menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki, menyebrangi sungai dengan air dingin membeku sampai setinggi pinggang. Pada umur 25 tahun di tahun 1869, beliau berhasil lulus dengan sukses ujian doktor filsafat Buddhis, kemudian ditahbiskan sebagai seorang biksu. Kemudian beliau memutuskan untuk melakukan praktik purifikasi dan menghimpun kebajikan selama tiga tahun dalam sebuah gua dekat biara Dagha Gampo yang didirikan oleh seorang murid Milarepa. Kemudian beliau pergi mengunjungi guru-guru besar untuk memperdalam pengetahuan beliau dan menerima banyak abisekha dan instruksi.


Beliau begitu kuat keyakinannya dan rendah hati hingga kepala biara Dagpo Dratsang mengundang beliau untuk mengajar Lamrim kepada 600 biksu dan banyak orang awam. Untuk pertama kalinya dan ketika umur beliau baru 35 tahun pada waktu itu. Semua kagum oleh kejelasan dan dalamnya pengajaran beliau.


Sejak itu, nama beliau menyebar ke sebagian daerah dari Tibet. Dua kali, dan itu luar biasa, beliau diangkat menjadi kepala biara di Dagpo Dratsang di mana beliau menerapkan tata tertib yang sangat ketat. Beliau diundang ke setiap komunitas untuk mengajar, dan selalu memperkuat tata tertib dan tingkat pelajaran, mendorong orang untuk menjadi vegetarian dan menghormati kehidupan. Murid beliau datang berbondong-bondong. Empat dari mereka mendapat tugas yang berat yaitu menjadi kepala biara Dagpo Dratsang, yang lain bertugas mengajar ke daerah ujung Tibet. Di antara para murid beliau, ada orang awam yang sederhana dan juga orang penting seperti Perdana Menteri dan kakak lelaki dari Dalai Lama XIII, atau juga dua wali raja dari Tibet yang bertugas setelah wafatnya Dalai Lama. Diantaranya juga terdapat Rating Rinpoche yang ikut membantu pencarian Dalai Lama XIV dalam sebuah keluarga petani.


Merupakan tanggung jawab yang sangat berat dimana seorang murid memberi kepercayaan penuh kepada gurunya. Gurunya, sangat dekat dengan muridnya, menerima curahan hatinya yang paling pribadi dan memberi nasihat mengenai segalanya: agama, duniawi, politik, keluarga, pekerjaan dan lain-lain, tanpa melupakan yang paling penting yaitu membuat muridnya maju dalam bidang spiritual.


Murid utama, murid yang paling terkenal dari pendahulu Rinpoche adalah Phabongkha Rinpoche, seorang lama muda yang menerima pengajarannya dalam pertapaan selama berbulan-bulan dan menjadi tokoh utama Buddhisme, penerima silsilah Lamrim dan guru dari sebagian besar guru-guru zaman sekarang, terutama kedua pembimbing Dalai Lama XIV, yang mana akan menjadi guru Dagpo Rinpoche juga...


Untuk sementara waktu, mata rantai ini berhenti. Dari seorang Bodhisatwa ke Dagpo Rinpoche melalui Lama Serlingpa, Marpa, Longdol Rinpoche, Jampel Lhundrup, Kelsang Jampel, dan Jampel Lhundrup, yang mana semua adalah satu kesinambungan batin, tanpa ada putus-putusnya. Walaupun silsilah yang begitu agung dimiliki oleh Dagpo Rinpoche, beliau tidak suka merujuknya. Tentu beliau diakui secara resmi sebagai reinkarnasi dari Jampel Lhundrup dan tentu beliau juga membaca serta mengenal semua kisah mengenai silsilahnya, tetapi beliau tidak memamerkannya, atau beliau menceritakan secara singkat tetapi hanya jika didesak seperti pada waktu diwawancara oleh kami. Kadang-kadang beliau membuat isyarat dalam pembicaraan, ini menurut penerjemah beliau. Pada suatu hari beliau berujar ketika melihat gambar dari Marpa, “Ia tidak seperti itu", tanpa menambah satu kata pun. Atau beliau memesan, di Nepal, sebuah rupang Lama Serlingpa sambil memberi Petunjuk yang jelas.




Disadur dari "Lama Dari Tibet" Sebuah Autobiografi Oleh Dagpo Rinpoche bersama Jean-Philippe Caudron; Desember 2008

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
Archive
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page