Guru Besar Suvarnadvipa Dharmakirti (Bag. 2)
Baca Terlebih dahulu Guru Besar Suvarnadvipa Dharmakirti (1)
“Sejak waktu tak berawal, aku telah mempunyai ikatan spiritual dengan guru ini. Sekarang sekali lagi aku memohon instruksi Dharma darinya. Dalam kehidupan ini aku belum mempunyai kesempatan untuk mendengarkannya. Demi kebaikan para cendekiawan dan murid yang mengikutiku, aku harus bersujud di kakinya.”
~ Dipamkara Sri Jnana ~
Bagaimana beliau bekerja untuk Dharma di bumi pertiwi
Setelah beliau menyelesaikan pembelajarannya dan mencapai realisasi-realisasi, Suvarnadvipa Guru kembali ke tanah asalnya, Sumatra, untuk bekerja demi Dharma. Beliau menetap di biara Vijayanagar, Istana Payung Perak, dan mulai mengajar. Kebijaksanaan dan realisasi pribadi yang beliau miliki menyebabkan banyak penduduk di pulau tersebut menjadi pengikut ajaran buddhis dan murid juga berdatangan dari segala daerah buddhis untuk mendengarkan ajarannya. Beliau tidak pernah meninggalkan biaranya, para muridlah yang datang dari tempat yang jauh ke Suvarnadvipa. Oleh karena itulah beliau dikenal juga dengan panggilan ‘Dharmakirti Suvarnadvipa’ untuk membedakan beliau dengan seorang guru lain yang juga bernama Dharmakirti, seorang ahli logika berkebangsaan India, dan sekaligus mengingatkan tentang tempat kelahirannya. Kasih sayangnya bagi semua makhluk tak terukur. Oleh karena dalam bahasa Sansekerta, istilah kasih sayang adalah maitri, beliau juga dikenal sebagai Maitri atau Maitreya. Saat murid utamanya, Dipamkara Sri Jnana, pergi ke Tibet, penerjemah bahasa Tibetnya menamai Suvarnadvipa Guru sebagai Lama Serlingpa, yang masih digunakan hingga saat ini.
Kemahsyuran Suvarnadvipa Guru menjelaskan mengapa pada tahun 1012, Dipamkara Sri Jnana, yang berusia sekitar 30 tahun, menggunakan kapal dagang untuk mencapai Suvarnadvipa, bersama rombongan murid dan cendekiawan. Mereka datang ke Suvarnadvipa untuk memohon instruksi lengkap dari Suvarnadvipa Guru dan memeditasikannya hingga mencapai realisasi. Tidak ada aspek lain dari sang jalan yang lebih penting dari bodhicitta, kualitas inti yang membawa tercapainya pencerahan kebuddhaan sempurna.
Setelah menempuh perjalanan panjang dan berbahaya selama tiga belas bulan, garis pantai pulau, yang penuh pepohonan lebat akhirnya muncul. Disanalah bumi sang guru yang menginspirasi mereka meninggalkan segala sesuatu untuk menerima ajaran berharga. Kapal mereka berlabuh di sepanjang garis pantai sampai ke hilir sungai, lalu berlayar ke hulu sungai selama tiga hari dengan memanfaatkan pasangnya air, bergerak ke arah barat daya. Setibanya di tikungan lebar sungai besar, sang kapten kapal meletakkan jangkarnya. Mereka telah tiba di Srivijaya, pusat dari Suvarnadvipa.
Di utara terdapat hutan luas dan gelap membentang melewati deretan perbukitan hingga batas cakrawala. Di barat terdapat deretan pohon bambu yang melambai tertiup angin laut. Di timur terdapat rawa-rawa sangat luas, dikatakan sebagai kerajaan para buaya. Di selatan terdapat sungai penuh dengan bunga teratai yang sangat indah dan di belakangnya terdapat deretan rumah panggung. Sesuai permintaan, mereka meninggalkan kapalnya di dekat stupa emas yang dibangun zaman dahulu kala.
Disanalah mereka bertemu dengan beberapa bhiksu yang bermeditasi. Bhiksu yang berjumlah enam orang itu menyatakan bahwa mereka adalah murid dari Sri Suvarnadvipa. Kedua pihak tinggal bersama selama lima belas hari. Pada saat ini murid-murid dari India, mengajukan banyak pertanyaan mengenai Sri Suvarnadvipa. Tidak lalai menanyakan secara rinci mengenai pribadi, realisasi, tradisi kebiaraan yang diikuti, pengetahuaan yang berkaitan dengan teks dan juga tingkat pemahaman serta kebijaksanaannya.
Mereka bertanya tanpa ragu. Jika seseorang memilih seorang guru, langkah inilah yang harus dilakukan. Tidak perlu terburu-buru memutuskan, bagaikan anjing lapar yang mengejar tulang. Inilah cara menghindari penyesalan di kemudian hari. Perlu dipikirkan, mengamati dan menginvestigasi terlebih dahulu. Ketika hubungan guru-murid telah terjalin tidak ada cara untuk membatalkannya.
Setelah mengajukan semua pertanyaan kepada keenam bhiksu, murid dari India juga menceritakan riwayat hidup guru mereka. Mereka tidak menambah atau melebih-lebihkan. Setiap kali mereka bercerita, batin mereka penuh rasa sukacita yang sangat kuat seolah mereka telah mencapai parthamabhumi, tingkat pertama bodhisattva bhumi.
Sudah sepatutnya seorang murid mencari tahu mengenai latar belakang guru yang dipilihnya, namun perlu diingat bahwa hal sebaliknya juga akan dilakukan oleh sang guru. Lalu para pengikut Sri Suvarnadvlpa juga mengajukan pertanyaan mereka. Mereka bertanya kepada murid dari India tentang kehidupan guru mereka. Kemudian diceritakan bagaimana beliau juga telah menolak kehidupan istana kerajaannya untuk menjadi seorang bhiksu dan bagaimana beliau dibimbing oleh para guru spiritual. Ketika para murid Sumatra mengetahui betapa dalam kebijaksanaan guru India tersebut, mereka menanyakan kepada salah satu cendekiawan India, Pandita Bhumisara: “Apakah Cendekiawan Agung ini yang dikenal sebagai Dipamkara Sri Jnana?”
Pandita Bhumisara menjawab:
Ya, Beliaulah yang dikenal sebagai Buddha kedua.
Beliaulah objek penghormatan termulia oleh kelima puluh dua cendekiawan,
Dan termahsyur di negerinya, Magadha.
Beliau dikagumi oleh para filsafat tanpa terkecuali,
Baik yang mempunyai pandangan Hinayana maupun Mahayana.
Pandita kami sangatlah termahsyur,
Layaknya pengakuan yang beliau terima.
Murid Sumatra kemudian berseru:
Sungguh luar biasa gurumu datang ke tanah ini,
Hingga kami dapat mendengar suara merdunya bagaikan madu!
Aspirasi kami untuk bertemu sang pandita agung pun meningkat.
Sejak saat kapalnya berlabuh!
Namun apakah kamu tidak terjerat dengan tipu muslihat Mara?
Apakah kamu tidak diserang badai dan raksasa laut yang hebat?
Apakah kamu tidak kelaparan dan kehausan selama perjalanan jauh?
Pandita Bhumisara menjawab:
Selama perjalanan jauh dan berbahaya sepanjang tiga belas bulan,
Sang Mara mengirim raksasa laut mengerikan untuk menyerang.
la menciptakan badai yang sangat dahsyat.
Namun dengan memusatkan batin pada kasih sayang dan welas asih
Untuk semua makhluk, Sang Mara dapat dilampaui.
Dan semua membaik kembali.
Dengan samadhi Avalokitesvara, guru kami mengatasi kejahatan.
Keseratus dua puluh lima muridnya terbebas dari malapetaka.
Setelah mendengar perkataan Pandita Bhumisara, para murid Sri Suvarnadvipa segera mencari Dipamkara Sri Jnana dengan batin penuh sukacita, dan berkata kepadanya:
Kami telah mendengar kemahsyuran Guru, yang tersebar luas.
Kami dipenuhi sukacita.
Hari ini Guru telah berada diantara kita.
Ketidaktahuan kami sangatlah dalam.
Sehingga tidak mengetahui kedatangan Guru!
Tetapi kini, dengan tubuh, ucapan, dan batin,
Kami bersujud dihadapan Guru.
Setelah berkata demikian, mereka bersujud. Tanpa sedikitpun menunjukkan rasa bangga, Dipamkara Sri Jnana kemudian bersujud kembali ke mereka. Mereka melanjutkan:
Untuk tujuan apa, Sang Terpelajar Agung, datang kemari? Apakah ada yang dapat kami lakukan untuk Guru?
Kami mohon, beritahu kami!
Dipamkara Sri Jnana menjawab demikian:
Aku datang mencari Yang Mulia Suvarnadvipa.
Aku datang untuk mematangkan buah kehidupan manusia yang berharga,
Dengan kebebasan dan keberuntungan yang hanya didapatkan sekali ini,
Agar potensi besar ini dapat terpenuhi.
Kalian akan sangat membantu apabila dapat menemui Gurumu
Dan mengajukan padanya untuk mengabulkan permohonanku atas ajaran-ajaran.
Setelah mendengar kata-kata ini, keenam murid langsung meninggalkan tempat pertemuan dan kembali ke Istana Payung Perak, dimana mereka memohon untuk bertemu Lama Agung Serlingpa. Dihadapan Guru Mulia, mereka bersujud dan berkata:
O Guru Agung, mohon dengarkan kami!
Seorang Terpelajar Agung dari Magadha, sengaja datang ke pulau ini.
Beliau bernama Dipamkara Sri Jnana.
Ditemani seratus dua puluh lima murid.
Setelah tiga belas bulan berlayar mengarungi samudera,
Dan menaklukkan Mara yang hebat Dengan meditasi kasih sayang dan welas asih.
Tanpa menunjukkan kelelahan fisik,ucapan maupun batin.
Kami mendengarkan selama empat belas hari Cara mereka menguraikan Dharma.
Kami dipenuhi dengan sukacita dan kebahagiaan.
Sang Terpelajar Agung kini berharap bertemu dengan Guru.
Beliau mengungkapkan harapan mendalam untuk menerima ajaran Prajnaparamita, instruksi penyempurnaan kebijaksanaan,
Ibu yang melahirkan para buddha di ketiga kurun waktu.
Beliau mencari instruksi cara membangkitkan boddhicitta,
Batin pencerahan spontan dan realisasi yang membawa Pada tingkat kebahagiaan sempurna.
Beliau mencari praktek Mahayana yang tak terputus.
Mempelajari lautan ajaran para guru.
Kami sekarang memohon pada Guru,
Dengan welas asih agung, berikanlah kesempatan ini kepadanya.
Mendengar kabar ini, Suvarnadvipa Guru berkata:
Alangkah mulianya, penguasa bumi telah datang!
Alangkah mulianya, putra sang raja telah datang!
Alangkah mulianya, tuan semua makhluk telah datang!
Alangkah mulianya, dia telah tiba dengan pengikutnya!
Alangkah mulianya, sang pahlawan agung yang tercerahkan telah datang!
Alangkah mulianya, dia telah mengatasi semua rintangan! Alangkah mulianya, dia telah datang dengan tulus hati!
0 para bhiksu, kenakanlah jubahmu, siapkan sambutan untuk yang mulia tanpa banding!
Lalu Suvarnadvipa Guru mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menyambut para tamu yang datang menyeberangi samudera khusus bertemu dengannya, mengabaikan mara bahaya, untuk menerima intisari instruksi dari guru Kerajaan Srivijaya. Lima ratus tiga puluh lima bhiksu mengenakan ketiga jubah lengkap berwarna emas murni membawa kendi air suci persembahan permandian. Mereka jalan berbaris diiringi nada gembrengan. Suvarnadvipa Guru mengepalai enam puluh dua sramanera. Iringan panjang yang melalui ladang tidak kurang dari lima ratus sembilan puluh tujuh orang. Mereka semua telah mencapai penolakan terhadap hal-hal duniawi dan berjalan untuk menyambut mereka yang telah tiba di tujuannya.
Dari kejauhan, Dipamkara Sri Jnana bersama pengikutnya memandang kedatangan mereka. Kesan yang ditimbulkan sangat bermartabat dan agung, Selayaknya Sang Buddha dikelilingi para arahat ketika melakukan perjalanan di negara Magadha. Menyaksikan pemandangan ini menimbulkan gelombang kebahagiaan dan keyakinan. Dalam batin mereka timbul perasaan yang mendalam seolah Sang Buddha sendiri yang mendekati mereka. Dipamkara Sri Jnana meminta empat orang muridnya menurunkan hadiah-hadiah yang diangkut oleh dua ekor gajah.
Sejumlah cendekiawan termahsyur yang terunggul di biaranya juga hadir bersama pengikut mereka masing-masing, untuk memberikan penghormatan kepada sang guru agung. Mereka telah mengikuti perjalanan Dipamkara Sri Jnana, karena mereka yakin bahwa beliau yang sangat terpelajar tidak akan mungkin mau menempuh bahaya jika bukan untuk intisari berharga dari ajaran Mahayana, yang hanya dapat didengarkan dari yang terunggul diantara semua guru. Mereka pun memakai ketiga jubah lengkap, baju yang dipakai oleh para Mahasamghika, yang diwarnai menggunakan bunga dari Kashmir dan memakai sandal sesuai tradisi. Sebagai pertanda baik mereka masing-masing membawa mangkuk besi indah dan pot berbentuk silinder dengan ukuran yang ditentukan, terbuat dari kulit yang dikerjakan di Magadha. Mereka menambahkan sebatang logam, sebagaimana diajarkan Sang Buddha, dan juga benda-benda ritual lain dibentuk khusus sesuai dengan aturan.
Para cendekiawan memakai topi pandita sesuai tradisi tanpa sedikitpun merasa bangga. Mereka memegang untaian rambut yak putih. Sebanyak seratus tujuh puluh delapan bhiksu, tiga puluh sramanera dan empat guru besar turut serta dalam rombongan Dipamkara Sri Jnana. Mereka berjalan sangat teratur, dengan menjaga jarak. Mereka tidak terlalu berdekatan, namun juga tidak berpencar, dan mempertahankan irama. Mereka bagaikan pelangi yang membentang ladang.
Suasananya sangat sempurna. Menyaksikan tiga kesempurnaan—keanggunan, keindahan, dan kesegaran—para dewa berkumpul menjatuhkan hujan bunga.
Dipamkara Sri Jnana berpikir, “Sejak waktu tak berawal, aku telah mempunyai ikatan spiritual dengan guru ini. Sekarang sekali lagi aku memohon instruksi Dharma darinya. Dalam kehidupan ini aku belum mempunyai kesempatan untuk mendengarkannya. Demi kebaikan para cendekiawan dan murid yang mengikutiku, aku harus bersujud di kakinya.” Beliaupun melakukannya.
Dengan demikian semua dapat menjadi saksi betapa besar perhatian yang diberikan oleh tamu dan tuan rumah terhadap kesempurnaan perilaku mereka, bahkan sampai hal yang terkecil, yang selayaknya dilakukan pada saat-saat seperti ini, dimana setiap murid mempersembahkan satu koin emas.
Dipamkara Sri Jnana membawa di depan dadanya harta yang paling berharga yang beliau miliki, sebuah vas bernilai sangat tinggi dihiasi permata-permata mulia. Bagian bawah vas berbentuk bola lampu besar yang datar di dasarnya. Leher vas sangat sempit sehingga jika dipakai untuk menuang air akan menetes. Tak ada yang lebih berharga dari vas ini, bahkan dari kristal murni atau permata langka. Terlihat sangat jernih sehingga isinya nampak dari luar, yaitu: mutiara beraneka warna, emas murni dan perak, batu karang merah, pirus, lapis lazuli, malahit dan batu berharga yang beraneka warna. Persembahan ini sangatlah berarti.
Sebagai wadah untuk menerima ajaran, kualitas-kualitas sempurna Dipamkara Sri Jnana diibaratkan seperti vas ini. Tanpa retak sedikitpun, beliau menyerap apapun yang didengar. Benar-benar murni dan jernih, beliau mendengar dengan sempurna tanpa pikiran yang tercemar. Penuh dengan permata berharga, batinnya meluapkan kebajikan yang dikumpulkannya. Demikian juga, beliau berharap seperti wadah yang dipenuhi dengan instruksi-instruksi berharga untuk membangkitkan batin pencerahan.
Kemudian Yang Mulia Suvarnadvipa Guru berkata padanya:
Engkau mempraktekkan disiplin biara dengan penuh keyakinan, putra mulia?
Engkau menghormati etika pribadi tanpa noda, putra mulia?
Engkau berusaha tanpa lelah mempraktekkan maha karuna, putra mulia?
Engkau datang kemari untuk menjadi Raja Dharma? Kemahsyuran kebajikanmu telah kami dengar.
Dengan kehadiran engkau hari ini, bagaimana kami tidak merasa bergembira, putra mulia?
Saat menjalankan tugas mulia ini
Di tanah suci India, tergerak oleh maha karuna,
Demi kebaikan semua makhluk,
Apakah engkau telah menjangkau semua makhluk,
Dengan perlindungan yang dijiwai keseimbangan batin Tanpa sikap memihak sedikitpun, putra mulia?
Setelah termahsyur sebagai terpelajar,
Apakah engkau berdebat secara terhormat demi Dharma?
Bukankah engkau berada dalam perlindungan guru-guru agung, putra mulia?
Tidakkah banyak cendekiawan, putra mulia,
Yang membebankan tanggung jawab menjaga Dharma padamu?
Kedatanganmu kemari hari ini adalah tanda keberuntungan.
Tuan mulia, aku mendengar engkau menghabiskan waktu tiga belas bulan
Mengarungi samudera luas.
Benar ajaib bila engkau telah berhasil menaklukkan
Malapetaka yang mengerikan!
Aku mendengar engkau mengalahkan Sang Mara.
Namamu termahsyur oleh perbuatan menakjubkan ini!
Sungguh mengagumkan, engkau telah berhasil menaklukkan ketakutan selama perjalanan panjang!
Terpelajar agung, apakah engkau telah meningkatkan kualitas batin dan tubuh?
Tidak dihalangi oleh kekuatan yang berlawanan?
Engkau tidak merasa kewalahan, putraku?
Betul-betul hari yang beruntung, Terpelajar Agung telah datang!
Beberapa muridku masih bermeditasi ditempat terpencil,
Namun sebagian besar menyambut kedatanganmu.
Kami sangat beruntung dapat bertemu denganmu.
Mohon ijinkan kami membawamu ke biara, banyak yang telah berkumpul di lapangan debat.
Nanti kami hendak mendengar kisah perjalananmu.
Mari, kepentingan spiritual menunggu.
Mendengar kata-kata gurunya, Dipamkara Sri Jnana berkata:
Memang demikian. Yang Mulia Guru tanpa banding.
Aku datang dari Madyadesa, India tengah.
Aku telah menaklukkan rintangan-rintangan dengan cara sesuai Dharma.
Berkat kekuatan tak terbatas dari Triratna,
Sang Mara ditaklukkan.
Karena akumulasi karma yang tercemar.
Kami telah menjaga ketiga pintu tubuh, ucapan, dan batin yang murni
Dengan menghindari perbuatan buruk.
Kami tiba dalam keadaan sehat, tanpa terlihat letih.
Tuan Agung tidakkah merasa terganggu selama tinggal di sini dan berusaha demi kebaikan semua mahluk?
Tuan Agung, samudera kebijaksanaan yang tak henti berkembang.
Yang memungkinkan mendapatkan kemenangan atas pasukan Mara.
Tuan Agung,
Engkau yang dikatakan berdiam di Suvarnadvipa,
Mengajarkan Dharma tanpa tanding,
Untuk semua mahluk, siang dan malam, tanpa henti.
Engkau mengajar kasih sayang yang merangkul semua dekat dalam hatimu.
Dan welas asih yang tak tahan melihat penderitaan mereka.
Tuan Agung,
Maha tahu dan tak tertandingi,
Aku memohon padamu, jadilah guruku.
Diberkahi pengetahuanmu seluas angkasa.
Aku memohon kembangkanlah kecerdasanku.
Dengan cara ini Dipamkara Sri Jnana menyampaikan permohonan kepada Suvarnadvipa Guru. Para murid Suvarnadvipa Guru kemudian bersorak:
Sungguh beruntung, Sang Pelajar Agung telah datang!
Kami pun berharap mendengar Dharma.
Lalu kedua rombongan menyatu dan membentuk satu iringan berjalan menuju Istana Payung Perak.
Sebagai pertanda baik, Suvarnadvipa Guru memberi penjelasan Ornamen Realisasi Jernih, Abhisamayalamkdra, sebagai ajaran pertamanya yang memerlukan lima belas sesi, dimana dua belas diantaranya membahas tentang kemunculan yang saling ketergantungan.
Guru dan murid saling membangun rasa hormat yang mendalam. Tempat tidur Dipamkara Sri Jnana disusun kepalanya disisi kaki tempat tidur gurunya, sesuai tradisi biara Mahasamghika saat guru memberi seorang murid instruksi yang mendalam. Dipamkara Sri Jnana mendengarkan banyak sekali ajaran lengkap selama dua belas tahun. Beliau juga merenungkan dan memeditasikannya. Di kemudian hari, Beliau menulis: “Di Istana Payung Perak, aku menghabiskan waktu pagi, siang, dan malam dengan mendengar, merenung, dan bermeditasi.”
Salah satu ajaran utama yang beliau terima adalah makna terselubung dari Sutra Penyempurnaan Kebijaksanaan, atau disebut ‘Sang Ibu’, instruksi yang pertama kali diberikan Buddha Maitreya kepada Arya Asanga. Inti ajaran ini adalah Ornamen Realisasi Jernih, yang menjelaskan sistem Mahayana yang tersirat dalam Sutra Penyempurnaan Kebijaksanaan.
Ajaran penting lainnya adalah penjelasan padat yang dikenal sebagai Menyamakan dan Menukar Diri dengan Yang Lain, seperti yang diajarkan oleh Cendekiawan Agung Santideva setelah menerimanya dari Buddha Manjusri. Di bawah kaki Suvarpadvipa Guru lah, Dipamkara Sri Jnana membangkitkan dalam batinnya realisasi murni dan tidak dapat merosot, yang membimbing ke pencerahan, melalui Menukar Diri dengan Yang Lain. Sang Guru lalu menyatakan muridnya telah menguasai sepenuhnya instruksi ini. Beliau meramalkan perjalanan Dipamkara Sri Jnana ke Tibet, dimana akan membimbing banyak murid:
Engkau, langka bagaikan dewata, jangan menetap di sini, Pergilah ke utara, ke Tanah Bersalju.
Kemudian Suvarnadvipa Guru memberi Dipamkara Sri Jnana miliknya yang paling berharga, rupang emas yang ditemukan di ladang kampung halamannya ketika masih kecil. Dengan membawa harta berharga ini, Dipamkara Sri Jnana mengikuti petunjuk gurunya dan kembali ke biara Vikramasila di India, dimana beliau mulai meneruskan ajaran yang didapatkan. Beberapa waktu kemudian sesuai ramalan, beliau melakukan perjalanan ke Tanah Bersalju Tibet. Di sana beliau memperkenalkan kembali ajaran Buddha yang asli.
Dengan demikian instruksi berharga Suvarnadvlpa Guru dapat ditemukan pada metode membangkitkan batin pencerahan dengan latihan Intruksi Tujuh Poin Sebab Akibat, juga pada Pelita Sang Jalan karya Jowo Atisa, nama yang diberikan orang Tibet untuk Dipamkara Sri Jnana. Instruksi berharga ini menunjukkan tahapan jalan bagi ketiga jenis praktisi, yang memuncak pada tercapainya pencerahan tertinggi sebagai Buddha. Teks ini adalah dasar dari instruksi yang kemudian dikenal sebagai Lamrim dalam bahasa Tibet.
Beberapa saat setelah kepergian Atisa Dipamkara, kerajaan Srivijaya diserang oleh Raja Shola Rajendra yang menaklukkan ibu kotanya. Namun Sang Acarya dari Sumatra ini tidak meninggalkan biaranya dan terus memberikan ajaran sampai parinirvananya. Beliau masih hidup ketika Atisa menjadi guru etika di biara Vikramasila, dan dikatakan bahwa beliau hidup hingga usia seratus lima puluh tahun.
Atisa terus menyimpan rupang yang diberikan oleh Suvarnadvipa Guru dan membawanya ke Tibet. Kemudian hari diberikan ke biara Rating, dan dihadapan rupang inilah Lama Tsongkhapa bermeditasi selama sebulan sebelum menulis beberapa risalah tentang tahapan sang jalan.
Karya bahasa Perancis oleh Françoise Cartau.
Diterjemahkan dari bahasa Perancis ke bahasa Belanda oleh Elly Hendriks, Januari 2011.
Diterjemahkan dari bahasa Belanda ke bahasa Inggris oleh Hans van den Bogaert, November 2011, atas permintaan Lan Tjoa, dengan tujuan agar teks ini dapat tersedia bagi pembaca bahasa Inggris.
Edit pertama bahasa Inggris oleh Yang Mulia Tenzin Kalzang.
Edit kedua bahasa Inggris dan terjemahan ke bahasa Indonesia oleh tim penerjemah Yayasan Suvarna Dharma Chakra Loka, beranggotakan Rio Helmi, Toni Risman, Hans Wijaya dan Rana Helmi, berlokasi di Bali, Indonesia, April 2016.
Sumber:
Atisa and Tibet, Maka Chattopaddhyaya, Motilal Barnasidas.
Byang-chub lam gyi rim-pa bla-ma brgyud-pa’irnam par thar-pa rgyalbstanmdzespa’irgyanmchogphulbyung nor bu’iphrengba (lam rnam) oleh Yongzin Yeshe Gyeltsen.
History of Buddhism, Buton Rinpoche, diterjemahkan dari bahasa Tibet oleh E. Obermiller, Edisi Heidelberg, 1932.
History of Buddhism in India, Taranatha.
La Libération Suprême entre Nos Mains, Pabongka Dorje Chang, Institut Guépele (Liberation in our Hands/ Pembebasan Ditangan Kita).
===============================================================================================
Pada Februari 1932, Yang Mulia Dagpo Rinpoche lahir di wilayah Kongpo, di tenggara Tibet. Ketika berusia satu tahun, Yang Mulia Dalai Lama XIII Thubten Gyatso (1876-1933) mengidentifikasi dirinya sebagai reinkarnasi dari Guru akhir abad ke-19, Dagpo Lama Rinpoche Jamphel Lhundrup Gyatso, juga dikenal sebagai Bamchoe Rinpoche. Yang juga berarti Yang Mulia Dagpo Rinpoche merupakan reinkarnasi dari Guru Besar Suvarnadvipa Dharmakirti dari Indonesia.